Prof Zamrun Akui Gagal Total di UHO: Rapat Strategis Berubah Jadi Ajang Curhat Rektor
Framing NewsTV – Suasana ruang Rapat Senat Lantai 4 Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari pada Senin, 7 Juli 2025, terasa jauh berbeda dari biasanya. Undangan resmi yang beredar menyatakan bahwa agenda rapat pimpinan tersebut akan membahas implementasi kebijakan dan program strategis kampus. Namun kenyataannya, apa yang disampaikan dalam forum tersebut sangat jauh dari harapan para peserta rapat.
Para pejabat tinggi kampus—mulai dari ketua senat, ketua dewan, ketua SPI, para wakil rektor, dekan dan wakil dekan, direktur pascasarjana beserta wakilnya, ketua lembaga, kepala UPA, koordinator, hingga ketua jurusan dan prodi—hadir dengan persiapan matang. Mereka berharap forum itu akan memuat arah baru kampus pasca terbitnya SK Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Nomor 197/M/KEP/2025 yang menjadi panduan penting dalam pembangunan pendidikan tinggi ke depan.
Namun begitu memasuki ruangan dan mengikuti jalannya rapat, harapan tersebut sirna. Tidak ada presentasi strategi, tidak ada roadmap akademik, dan tak ada pembahasan soal kerja sama internasional. Yang terjadi justru forum berubah menjadi tempat keluhan pribadi, monolog panjang penuh nada frustrasi dan kelelahan dari pucuk pimpinan kampus.
Rektor UHO, Prof. Dr. Muhammad Zamrun Firihu, membuka rapat dengan nada lirih dan suasana yang sunyi. Ia menyatakan bahwa dirinya gagal menjalankan transformasi kepemimpinan di UHO. Ia bahkan mengakui bahwa sejak sebelum tanggal 2 Juli 2025, ia sudah mengosongkan ruang kerja dan meninggalkan rumah dinas sebagai bentuk kesiapan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan.
Pernyataan mengejutkan itu membuat hadirin terdiam. Para pimpinan fakultas dan unit kerja di lingkungan UHO tidak menyangka mereka diundang hanya untuk mendengarkan luapan kegelisahan pribadi rektor, bukan membahas hal strategis yang dinanti-nantikan sesuai dengan isi surat undangan.
Salah satu pimpinan unit yang hadir, dan meminta namanya tidak dipublikasikan, mengungkapkan kekecewaannya. Ia mengatakan bahwa dirinya hadir untuk menyimak arahan penting dari rektor tentang implementasi program nasional di tingkat kampus. Namun yang ia dengarkan justru keluh kesah pribadi yang jauh dari substansi.
Menurut Prof Zamrun, kegagalan tersebut erat kaitannya dengan situasi pelik yang melingkupi pemilihan rektor (Pilrek) UHO periode 2025–2029. Ia mengaitkannya dengan laporan masyarakat ke Kemenristekdikti yang mengungkap adanya indikasi maladministrasi dalam proses Pilrek. Salah satu dampaknya adalah tidak dilantiknya rektor terpilih, Prof Armid, pada tanggal 2 Juli sebagaimana seharusnya.
Untuk diketahui, beberapa point dari sekian banyak dalam laporan masyarakat ke kemenristekdikti RI adalah dugaan pelanggaran serius dalam proses pemilihan rektor. Beberapa yang disebutkan dalam laporan bahwa terdapat indikasi kuat adanya tindakan maladministrasi tata kelola Pilrek, pelanggaran terhadap prosedur yang ditetapkan oleh Kemendikbudristek, serta dugaan “cawe-cawe” atau keterlibatan aktif rektor beserta pihak-pihak internal kampus secara masif dan terstruktur sehingga mempengaruhi hasil akhir pemilihan.
Situasi tersebut menggambarkan bahwa proses Pilrek di UHO jauh dari semangat etika dan hukum yang semestinya menjadi fondasi dalam institusi pendidikan tinggi. Walau tidak menyebutkan secara terang, pernyataan Prof Zamrun justru memicu spekulasi publik bahwa dirinya diduga terlibat aktif dalam mengarahkan jalannya Pilrek secara tidak proporsional.
Forum rapat yang seharusnya menjadi wadah untuk menyampaikan program kerja strategis dan target kampus dalam menghadapi tantangan ke depan malah berubah menjadi ajang pengakuan personal. Beberapa peserta rapat merasa kecewa karena harus menyaksikan sebuah forum resmi berubah menjadi sesi curahan hati pimpinan.
“Saya merasa ini lebih seperti ruang konseling ketimbang rapat resmi,” ujar seorang pejabat UHO yang hadir. “Ada rasa kecewa dan kelelahan yang terpancar dari beliau. Tapi sebagai forum kampus, kami berharap ada hal substantif yang dibahas, bukan hanya pengakuan pribadi.”
Apa yang terlihat dalam forum itu tak sekadar cerminan krisis emosional, namun juga memperlihatkan adanya krisis struktural dan kepemimpinan yang lebih dalam. Ketegangan yang mengemuka bukan lagi sekadar teknis administratif, tetapi menunjukkan kegamangan dalam arah kepemimpinan UHO secara keseluruhan.
Salah satu pengakuan yang mencolok dari Prof Zamrun adalah bahwa ia telah mengosongkan ruang kerja dan rumah jabatan. Namun di sisi lain, tidak ada rektor baru yang menjabat secara definitif dari hasil Pilrek. Yang terjadi justru perpanjangan masa jabatannya sebagai rektor melalui SK resmi dari kementerian.
Salinan SK Menteri Kemendiktisaintek RI bernomor 197/M/Kep/2025, yang ditandatangani oleh Prof Brian Yuliarto, Ph.D., pada 2 Juli 2025 di Jakarta, menyatakan bahwa masa jabatan Prof Zamrun sebagai Rektor UHO diperpanjang. Hal ini menunjukkan bahwa ada kekosongan hukum dan ketidakpastian kepemimpinan yang terus berlangsung.
Di balik pernyataannya dalam forum, sikap Prof Zamrun menunjukkan kondisi psikologis pemimpin yang sedang menghadapi tekanan berat. Salah satu peserta rapat menyebut bahwa sang rektor tampak mengalami "kelelahan struktural", yakni kondisi saat seorang pemimpin sudah tidak sanggup lagi menjalankan tanggung jawab akibat tekanan sistemik yang terus-menerus.
“Saya lihat beliau benar-benar lelah. Bukan secara fisik, tetapi secara mental. Ekspresinya tidak seperti biasanya. Bahkan tutur katanya tidak fokus, bicara ke sana ke mari, seperti orang yang kehilangan arah,” ucap seorang pimpinan unit fakultas yang menyimak langsung jalannya rapat dari awal hingga akhir.
Namun demikian, pertanyaan penting yang muncul di tengah kegaduhan ini adalah: apakah kelelahan yang dialami pimpinan kampus bisa dijadikan pembenaran atas kegagalan dalam menjalankan tanggung jawab? Apakah rasa pasrah dan curhat bisa menggugurkan tanggung jawab institusional yang melekat pada jabatan seorang rektor?
Universitas bukanlah panggung drama personal. Kampus adalah institusi publik yang harus dijalankan dengan standar profesionalisme dan tata kelola yang baik, bahkan di tengah situasi krisis sekalipun. Ketika emosi mengambil alih kebijakan, maka arah kampus bisa menjadi tak menentu.
Situasi ini membawa pertanyaan yang lebih besar pada tataran kebijakan pusat. Apakah Kementerian akan tetap melantik rektor terpilih? Ataukah hasil Pilrek akan dibatalkan dan prosesnya diulang? Bahkan bisa saja, dalam skenario ekstrem, SK perpanjangan Prof Zamrun akan dicabut dan pelaksana tugas (Plt) rektor ditunjuk untuk menyelesaikan masalah ini dari awal.
Kisruh ini menjadi cerminan bahwa sistem pemilihan rektor di perguruan tinggi perlu perombakan serius. Kepemimpinan kampus bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi rektor, tetapi menyangkut nilai-nilai integritas, transparansi, dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.
Prof Zamrun boleh saja menyampaikan versinya dalam forum resmi itu. Namun publik menginginkan lebih dari sekadar pengakuan. Yang dibutuhkan adalah langkah nyata dalam membenahi sistem kepemimpinan yang rusak, bukan sekadar permintaan maaf atau keluh kesah di balik meja rapat.
Kampus adalah tempat menimba ilmu dan menanamkan nilai
luhur. Ketika nilai itu runtuh karena ego kepemimpinan atau permainan politik
dalam Pilrek, maka yang hancur bukan hanya struktur organisasi, tetapi juga
jiwa institusi pendidikan itu sendiri. ***)