Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Heboh! Irjen Dikti dan Dewas UHO Diduga Main Mata dengan Rektor Zamrun dalam Pilrek UHO



Framing NewsTV - Skandal besar tengah mengguncang Universitas Halu Oleo (UHO) setelah muncul dugaan bahwa Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi (Irjen Dikti) dan Dewan Pengawas (Dewas) UHO tidak bersikap netral dalam proses Pemilihan Rektor periode 2025–2029. Keduanya dituding telah berkolusi dengan Rektor petahana Prof. Muhammad Zamrun Firihu untuk mengamankan kepentingan politik tertentu, termasuk mengatur ulang komposisi senat dan mengabaikan berbagai laporan pelanggaran yang dilayangkan masyarakat. Dugaan ini diperkuat dengan hasil audit investigasi internal yang dianggap tidak transparan, bahkan dituding “masuk angin” karena tidak menindaklanjuti sejumlah temuan pelanggaran serius, seperti manipulasi usia anggota senat dan keterlambatan tahapan pilrek.

Masyarakat, akademisi, dan dosen UHO kini mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pendidikan untuk segera mencopot Irjen Dikti dan Dewas UHO dari jabatannya. Sorotan tajam mengarah pada potensi praktik gratifikasi, cawe-cawe politik kampus, serta penyalahgunaan wewenang oleh oknum di balik layar. Jika dibiarkan, skandal ini bukan hanya mencoreng kredibilitas UHO, tetapi juga mengancam integritas sistem pendidikan tinggi nasional. Publik menuntut transparansi dan tindakan tegas demi mengembalikan marwah demokrasi kampus yang bersih dari intervensi kekuasaan.

Irjen Dikti dan Dewas UHO Tidak Netral dalam Pilrek UHO

Dunia pendidikan tinggi kembali diguncang skandal. Kali ini berasal dari Universitas Halu Oleo (UHO), salah satu perguruan tinggi negeri yang sebelumnya dikenal tenang, namun kini berubah menjadi ladang konflik kepentingan. Skandal besar itu melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi (Irjen Dikti) dan Dewan Pengawas (Dewas) UHO, yang diduga keras telah berkolaborasi secara diam-diam dengan Rektor UHO, Prof. Muhammad Zamrun, dalam memuluskan rencana “politik kekuasaan kampus” demi mempertahankan kendali atas pemilihan rektor periode 2025–2029.

Alih-alih menjadi pengawas yang netral dan penjaga moralitas institusi pendidikan tinggi, Irjen Dikti dan Dewas UHO justru disinyalir telah berpihak pada kepentingan sang petahana. Dalam peran mereka yang seharusnya menegakkan objektivitas dan melindungi proses demokrasi kampus, mereka justru dituding sebagai bagian dari jaringan kekuasaan yang secara sistematis mengatur hasil pemilihan rektor untuk melanggengkan pengaruh Prof. Zamrun.

Hasil Audit investigasi Tim Inspektorat Jenderal terhadap proses pemilihan senat Fakultas dan Senat Universitas berujung tidak netral. Audit yang semestinya membuka mata publik atas berbagai penyimpangan, justru berujung kontroversi besar. Laporan yang disusun penuh keraguan dan kebimbangan, tanpa menyentuh substansi pelanggaran. Padahal, investigasi terhadap senat kampus merupakan jantung dari validitas Pilrek. Tetapi kenyataannya, audit tersebut lebih menyerupai upaya pembenaran terselubung yang mengamankan posisi Zamrun dan kroninya.

Dalam laporan audit yang bocor ke sejumlah pihak, tidak ada penekanan serius terhadap pelanggaran aturan. Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa audit tersebut sudah ‘masuk angin’ sejak awal. Banyak pihak meyakini bahwa tim audit datang bukan untuk mengungkap pelanggaran, tapi untuk membersihkan jalan agar skenario politik Zamrun berjalan mulus. Audit tersebut dituding sebagai bagian dari strategi halus mengawal proses Pilrek dari balik layar, dengan mengabaikan prinsip-prinsip netralitas, integritas, dan akuntabilitas.

Terindikasi masuk angin dan mengawal kepentingan Rektor UHO untuk memuluskan rencana jahat dalam Proses Pemilihan Rektor UHO periode 2025-2029. Begitulah narasi yang berkembang kencang di lingkungan civitas akademika UHO. Kalimat itu bukan sekadar spekulasi liar, melainkan cerminan dari kekhawatiran mendalam para dosen dan staf atas apa yang sedang terjadi. Menurut sumber internal, audit tersebut tidak pernah bertujuan mencari kebenaran, tetapi sekadar formalitas untuk memenuhi prosedur administratif sambil menyamarkan arah permainan.

Bahkan lebih dari itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa tim audit sejak awal sudah “ditugaskan” bukan untuk menginvestigasi, tapi untuk melindungi. Hal ini menguatkan dugaan bahwa proses pemilihan rektor bukan lagi kompetisi gagasan, tetapi medan pertempuran kekuasaan yang diatur secara sistematis oleh aktor-aktor kuat dalam struktur kementerian dan kampus.

Berdasarkan narasumber yang diwawancarai oleh tim audit Kemendikbudristek bersepakat bahwa “terdapat kesepahaman bersama” bahwa beberapa hal substansi dan berpotensi terjadi pelanggaran adalah:

1. Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017, yang menyebutkan tahapan pemilihan rektor harus dimulai tepat waktu. Namun faktanya, Rektor Zamrun terlambat memulai proses Pilrek. Memperhatikan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Pasal 6 ayat (1); Tahap penjaringan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dilaksanakan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Pemimpin PTN yang sedang berjalan. Sementara Proses penjaringan Bakal Calon Rektor UHO Periode 2025-2029 dilaksanakan hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Rektor UHO Periode 20212025 pada tanggal 2 Juli 2025.

2. Batas usia anggota senat dalam Statuta UHO dan Peraturan Senat adalah maksimal 60 tahun, namun anehnya dalam Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2025, masih diakomodir anggota senat yang berusia 65 tahun. Ini dianggap sebagai manipulasi aturan internal demi menyisipkan loyalis dan pengaman suara dalam senat.

Kesaksian penting ini tercatat dalam wawancara resmi tim audit di Hotel Plaza Inn pada 13 April 2025, namun ironisnya tidak ada hasil audit yang disampaikan secara transparan kepada narasumber ataupun publik. Hal ini menguatkan dugaan bahwa audit hanya formalitas yang dibungkus rapi, lalu disimpan rapat agar publik tidak mengetahui celah-celah pelanggaran tersebut.

Sehingga diduga kuat, Tim Audit Investigasi IRJEN Kemendiktisaintek berpihak atau tidak netral melihat permasalahan ini. Ini bukan tuduhan ringan. Ketika lembaga pengawas internal pemerintah tidak lagi menjalankan tugasnya secara jujur dan adil, maka yang terjadi adalah pembusukan sistem dari dalam. Jika terbukti benar, maka Irjen Dikti telah mengkhianati amanah publik dan mengorbankan integritas institusi demi kepentingan elite kampus.

Rekomendasinya adalah diperlukan pertanggungjawaban IRJEN selaku penanggung jawab untuk memberikan penjelasan terkait masalah ini. Hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab moral dan administratif yang tidak bisa ditunda. Publik dan civitas akademika UHO berhak tahu: apakah Irjen Dikti bekerja untuk kepentingan bangsa atau untuk kepentingan kelompok tertentu.

Publik Desak Presiden Prabowo dan Meristekdikti Copot Irjen Dikti dan Dewas UHO

Kemarahan publik pun tak terbendung. Desakan semakin keras agar Presiden RI Prabowo Subianto dan Mendikbudristek segera mencopot seluruh jajaran Irjen Dikti dan Dewas UHO yang terindikasi terlibat dalam pengamanan kepentingan Rektor Zamrun. Masyarakat tidak ingin kampus menjadi panggung transaksi politik. Presiden Prabowo diminta turun tangan langsung untuk menghentikan skandal ini, karena jika dibiarkan, maka kepercayaan terhadap sistem pendidikan tinggi akan runtuh total.

Desakan ini datang dari berbagai kalangan: mahasiswa, dosen, akademisi, LSM pendidikan, hingga pengamat hukum tata negara. Mereka sepakat bahwa jika Irjen Dikti tidak segera dibersihkan dari aktor-aktor politis, maka proses pemilihan rektor di berbagai kampus negeri lainnya juga akan terancam dikendalikan oleh kekuasaan elitis.

Disamping itu, agar Kemenristekdikti terhindar dari perilaku transaksional jabatan dan dugaan adanya gratifikasi/korupsi. Bayangan bahwa jabatan rektor bisa diperjualbelikan atau dikunci melalui manuver politik adalah ancaman nyata terhadap demokratisasi di lingkungan kampus. Jika laporan dan protes masyarakat diabaikan begitu saja, maka sesungguhnya yang sedang dilindungi bukan hanya Rektor UHO, tapi seluruh sistem yang sarat kepentingan.

Menurut salah seorang dosen senior UHO mengatakan bahwa “jika benar ada dugaan keterlibatan Irjen Dikti dan Dewas UHO, maka ini harus ditindaklanjuti dan menjadi atensi pemerintah untuk menelusuri kebenaran informasi tersebut. Jika benar, maka pantas mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya karena itu merupakan bentuk gratifikasi.”

Pernyataan ini mencerminkan keresahan luas di lingkungan civitas akademika. Dosen tersebut tidak asal bicara. Ia menyampaikan suara para akademisi yang sudah muak melihat proses pemilihan rektor yang direkayasa, tidak lagi berdasarkan meritokrasi dan prestasi, tapi berdasarkan loyalitas politik, transaksi kekuasaan, dan balas jasa. Apabila terbukti ada aliran kepentingan, pengabaian laporan masyarakat, hingga keberpihakan dalam mendorong pelantikan rektor terpilih tanpa proses yang bersih dan adil, maka ini bisa masuk kategori pelanggaran berat yang harus ditindak secara administratif maupun hukum.

Dugaan keterlibatan Inspektorat Jenderal (Irjen) Dikti dan Dewan Pengawas (Dewas) UHO mencuat akibat informasi yang beredar luas di masyarakat. Mereka diduga membela secara total Rektor UHO saat ini, Prof. Zamrun, serta mendorong pelantikan Prof. Armid sebagai rektor terpilih, meski terdapat laporan publik mengenai dugaan pelanggaran dan campur tangan dalam proses pemilihan. Tindakan ini dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap mekanisme pengawasan dan transparansi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam lingkungan akademik.

Jika dugaan ini terbukti, maka Irjen Dikti dan Dewas UHO telah melakukan pembiaran terhadap praktik maladministrasi, bahkan berpotensi menyuburkan iklim kolutif dalam birokrasi pendidikan tinggi. Tindakan ini bukan hanya bertentangan dengan prinsip keadilan akademik, tetapi juga mengkhianati amanah negara dalam menciptakan iklim pendidikan yang transparan, meritokratis, dan bebas dari korupsi.***)