Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rektor UHO Prof. Zamrun Diduga Tipu Publik Lewat Surat Mandat Pelantikan Rektor



Framing NewsTV - Rektor Universitas Halu Oleo (UHO), Prof. Dr. Muhammad Zamrun Firihu, S.Si, M.Si., M.Sc., tengah menghadapi badai kritik dan tuduhan serius. Ia diduga kuat melakukan pembohongan publik secara terang-terangan melalui penerbitan surat mandat dengan nomor: 2371/UN29/KP/2025. Surat itu secara resmi ditujukan kepada Wakil Rektor I Bidang Akademik, Prof. Dr. La Hamimu, S.Si, M.T., dengan tujuan menghadiri apa yang disebut sebagai “Pelantikan Rektor Terpilih Universitas Halu Oleo” pada tanggal 1 Juli 2025 di Jakarta.

Pelantikan Palsu di Jakarta! Rektor UHO Diduga Tipu Civitas Akademika dengan Surat Mandat Bohong.

Tampaknya surat ini bukan sekadar dokumen internal biasa, melainkan digunakan sebagai dasar administratif dan legitimasi kehadiran rombongan pejabat kampus UHO ke ibu kota Jakarta. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan dan menuai tanda tanya besar. Tak ada pelantikan. Tak ada undangan. Tak ada surat resmi dari Kemenristekdikti. Surat mandat yang menghebohkan ini, kini diduga kuat sebagai produk rekayasa administratif yang berpotensi menyesatkan publik.

Kejanggalan besar muncul karena tidak ada agenda pelantikan rektor UHO dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Tidak satu pun pejabat kementerian mengonfirmasi adanya kegiatan tersebut. Bahkan sumber dari internal Kemenristekdikti menyatakan bahwa pelantikan rektor UHO belum dijadwalkan, karena masih ada sejumlah proses yang harus dituntaskan. Maka jelas, isi surat mandat yang diteken langsung oleh Rektor Zamrun menjadi sangat mencurigakan dan patut diperiksa secara hukum dan etika publik.



Lebih dari sekadar keliru, langkah menghadiri acara fiktif di Jakarta ini dipandang sebagai tindakan maladministrasi serius yang mencoreng nama baik institusi pendidikan tinggi. Dalam perspektif akademik dan hukum tata kelola perguruan tinggi, penerbitan dokumen resmi yang tidak berbasis pada kenyataan faktual dapat dianggap sebagai pelanggaran berat yang dapat menimbulkan dampak hukum, reputasi, hingga finansial.

Surat mandat yang telah dikirimkan kepada para pejabat kampus memicu gelombang keberangkatan masif. Para Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Kepala Lembaga, Ketua Jurusan/Kaprodi hingga para staf ikut bergerak bersama ke Jakarta, dengan keyakinan bahwa mereka akan menyaksikan momen bersejarah pergantian kepemimpinan kampus. Namun ironisnya, rombongan besar ini justru hadir untuk menghadiri acara yang tak pernah ada. Pelantikan yang mereka tunggu-tunggu ternyata hanya bayangan kosong. Kampus UHO di Kendari pun tertinggal kosong, hening, dan mencekam seperti kota tanpa penduduk.

Seorang dosen UHO yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, menyampaikan perasaan syok dan heran melihat kondisi kampus yang sepi total. “Saya masuk kantor, kampus terasa sunyi mencekam. Saya bertanya kepada teman-teman dosen lainnya, mereka mengatakan bahwa para pejabat kampus rame-rame ke Jakarta menghadiri pelantikan Rektor terpilih,” ujarnya dengan nada getir. Ini bukan hanya tentang kehadiran fisik semata, tetapi menggambarkan betapa kuatnya pengaruh manipulasi surat mandat terhadap seluruh sistem manajemen universitas.

Romantis Tapi Konyol: Istri Pejabat Bawa Jas dan Kebaya ke Pelantikan Fiktif, Kampus Kosong dan Dana Lenyap

Yang paling menyayat hati dan memalukan adalah fakta bahwa para pejabat kampus tidak berangkat sendirian. Banyak di antara mereka memboyong serta istri masing-masing, seolah bersiap menghadiri acara kenegaraan atau seremoni penting nasional. Persiapan pun dilakukan dengan sangat serius, dari jas formal, kebaya modern, setelan blazer hingga gaun pesta. Para istri bahkan diduga telah menyiapkan riasan profesional dan menyewa perlengkapan mewah. Tapi tragisnya, semua pakaian dan perlengkapan itu hanya tergantung di lemari hotel, bahkan ada yang tidak dikeluarkan dari koper karena tidak ada acara apapun yang berlangsung.



Peristiwa ini bukan sekadar ironi, tetapi tamparan keras terhadap integritas universitas. Para pejabat merasa dipermainkan dan kecewa berat karena merasa telah ditipu oleh narasi palsu pelantikan. Sebagian bahkan mengungkapkan kekecewaan mereka secara pribadi kepada sesama staf. Namun dibalik kekecewaan, muncul senyuman samar. Sebab dikabarkan bahwa masa jabatan Rektor Prof. Zamrun justru diperpanjang, meski rektor terpilih belum dilantik. Ini menimbulkan dugaan adanya permainan politik internal yang rumit dan memicu pertanyaan besar soal netralitas dan objektivitas proses Perpanjangan Jabatan Prof. Zamrun sebagai Rektor UHO.

Diduga Korupsi Perjalanan Dinas! KPK Harus Usut Rektor UHO yang Gerakkan Kampus Hadiri Pelantikan Rektor

Situasi ini menjadi lebih serius ketika muncul dugaan bahwa seluruh kegiatan keberangkatan ke Jakarta dilakukan menggunakan fasilitas negara. Artinya, tiket pesawat, hotel, uang harian, dan logistik perjalanan besar kemungkinan dibebankan kepada anggaran perjalanan dinas. Jika benar demikian, maka ini bukan hanya persoalan moral, tetapi sudah masuk kategori penyalahgunaan wewenang dan potensi korupsi berjamaah. Dalam kondisi keuangan negara yang sedang ketat dan kebutuhan pendidikan yang sangat tinggi, penggunaan dana publik untuk menghadiri acara fiktif adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat.

Dalam perspektif hukum administrasi negara, penggunaan anggaran negara untuk kegiatan fiktif dapat masuk dalam unsur delik korupsi perjalanan dinas. Terlebih jika pejabat terkait mengetahui sejak awal bahwa kegiatan tersebut tidak memiliki dasar undangan resmi, namun tetap memerintahkan pelaksanaan kegiatan dan pencairan anggaran. Maka sangat pantas jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Kejaksaan Agung diminta segera turun tangan untuk mengusut seluruh aspek perjalanan ke Jakarta ini.

Dugaan ini tidak boleh dibiarkan mengambang. Ada potensi besar telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis dan dibiarkan berlangsung karena tidak adanya kontrol internal di lingkungan kampus. Apalagi UHO merupakan universitas negeri yang dibiayai oleh anggaran publik. Maka keterlibatan pejabat publik dalam skandal semacam ini harus segera dibongkar hingga ke akar-akarnya.

Pakar hukum tata negara dan pendidikan tinggi menyatakan bahwa jika benar surat mandat yang dikeluarkan oleh Rektor UHO terbukti tidak berdasar, maka ini bisa dikategorikan sebagai dokumen administratif palsu yang menyesatkan dan dapat menjadi objek pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Lebih lanjut, penggunaan surat tersebut untuk tujuan yang merugikan negara dapat ditindaklanjuti dengan sanksi administratif, pidana, hingga pemberhentian jabatan.

Selain potensi hukum, dampak dari kejadian ini terhadap nama baik UHO sebagai institusi akademik sangatlah besar. Kampus yang seharusnya menjadi tempat pengembangan ilmu dan nilai-nilai etika kini justru menjadi sorotan karena dugaan manipulasi dan skandal pelantikan rektor. Kepercayaan publik terhadap independensi dan netralitas proses pemilihan pimpinan kampus pun berada di titik nadir.

Dalam konteks etika akademik, tindakan Rektor UHO Prof. Zamrun yang menerbitkan surat mandat berdasarkan asumsi dan informasi tidak jelas adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip integritas akademik. Kepemimpinan akademik semestinya dibangun di atas nilai-nilai kebenaran, transparansi, dan akuntabilitas, bukan pada narasi fiktif yang menciptakan ilusi dan menyebarkan kebingungan di kalangan civitas akademika.

Kini, bola panas berada di tangan pemerintah, kementerian, dan aparat penegak hukum. Masyarakat menanti apakah skandal ini akan ditindaklanjuti secara serius atau justru dibiarkan tenggelam dalam sunyi seperti kasus-kasus kampus lainnya yang tidak tuntas. Jika tidak ada tindakan tegas, maka akan muncul preseden buruk di mana rektor universitas dapat seenaknya menerbitkan mandat, menggunakan anggaran negara, dan memobilisasi pegawai untuk agenda yang tidak pernah ada.

Skandal surat mandat pelantikan rektor fiktif ini tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Masyarakat, mahasiswa, dan para pemerhati pendidikan tinggi harus bersuara lantang menuntut keadilan dan transparansi, agar kejadian memalukan ini tidak terulang di masa depan. Pendidikan adalah tiang peradaban, dan jika tiangnya keropos karena kebohongan, maka yang runtuh bukan hanya kampus, tapi masa depan generasi bangsa. ***)