Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Skandal Beruntun di UHO: Dugaan Korupsi, Perselingkuhan, dan Dekan Bermasalah Etik



Framing NewsTV - Tiga nama besar di lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) kini tengah menjadi sorotan publik akibat berbagai dugaan pelanggaran serius, mulai dari korupsi, skandal moral, hingga pelanggaran etika berat dalam jabatan publik. Rektor UHO, Prof. Muhammad Zamrun Firihu, misalnya, diduga terlibat dalam praktik korupsi dan malladministrasi saat proses pemilihan rektor. Kasus ini memunculkan pertanyaan besar tentang integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan universitas negeri di Indonesia.

Sementara itu, Prof. Armid, salah satu tokoh akademik terkemuka di UHO, terseret isu skandal moral yang menghebohkan kalangan civitas akademika. Ia diduga menjalin hubungan terlarang dengan staf dan dosen, yang dinilai telah mencoreng martabat institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Dugaan ini turut memperburuk citra UHO yang tengah dihantam berbagai polemik internal.

Tak kalah kontroversial, Prof. Eka Suaib yang saat ini menjabat sebagai Dekan FISIP UHO, pernah diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya sebagai anggota KPU Sultra oleh DKPP RI. Ia terbukti melanggar kode etik dan sumpah jabatan karena tidak netral dalam pemilihan kepala daerah. Meski memiliki rekam jejak buruk dalam tata kelola birokrasi, ia tetap dilantik sebagai dekan, yang menimbulkan kritik tajam terhadap kebijakan pimpinan universitas. Ketiga kasus ini semakin menegaskan bahwa krisis kepemimpinan dan etika di tubuh UHO perlu mendapatkan perhatian serius dari publik dan pemerintah.

Rektor UHO Prof. Zamrun: Dari Dugaan Korupsi Hingga Maladministrasi Pemilihan Rektor

Puluhan mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Komite Pemuda Pemerhati Pendidikan (KP3) menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, pada Jumat, 16 Mei 2025. Aksi ini merupakan bentuk desakan kepada KPK untuk mengusut tuntas dugaan korupsi yang menyeret nama Rektor Universitas Halu Oleo (UHO), Prof. Dr. Muhammad Zamrun Firihu, S.Si., M.Si., M.Sc.

Dalam aksi tersebut, massa membentangkan berbagai spanduk dan poster berisi kecaman terhadap Zamrun. Mereka mendesak KPK untuk bertindak cepat dan tegas, serta segera memanggil dan memeriksa Zamrun terkait lonjakan kekayaan yang dinilai tidak wajar berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Koordinator aksi, Amirudin, dalam orasinya menjelaskan bahwa dugaan korupsi ini mencuat setelah pihaknya melakukan investigasi atas kejanggalan dalam pelaporan harta kekayaan Zamrun ke KPK. Menurutnya, sebagai pejabat publik, Zamrun wajib melaporkan seluruh aset kekayaannya secara jujur dan akurat. Ketidakpatuhan terhadap kewajiban ini dinilai dapat mencoreng kredibilitas lembaga pendidikan tinggi serta menggerus kepercayaan publik.



Amirudin menyebutkan, investigasi KP3 mengungkap adanya potensi aset yang tidak dilaporkan dalam LHKPN oleh Prof. Zamrun. Hal ini, kata dia, patut dicurigai sebagai pelanggaran hukum yang membutuhkan tindakan lanjutan dari aparat penegak hukum, khususnya KPK.

Tujuan utama laporan KP3 ini, menurut Amirudin, adalah memberikan gambaran objektif mengenai dugaan penyimpangan dalam pelaporan harta kekayaan Rektor UHO, demi mendorong transparansi, akuntabilitas, serta penegakan hukum dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Berdasarkan analisis data LHKPN yang disampaikan KP3, terdapat kenaikan signifikan pada total kekayaan Prof. Zamrun dari tahun 2018 hingga 2023. Berikut adalah rincian peningkatan harta kekayaan tersebut:





Kenaikan paling drastis tercatat pada tahun 2020, dengan lonjakan sebesar 62% dibandingkan tahun sebelumnya. Kategori kas dan setara kas menjadi penyumbang utama peningkatan kekayaan tersebut.

Amirudin menilai, peningkatan tajam harta kekayaan Zamrun tidak sebanding dengan pendapatan resmi sebagai rektor perguruan tinggi negeri. Gaji dan tunjangan jabatan dinilai tidak mampu menjelaskan lonjakan sebesar itu, sehingga memunculkan dugaan adanya sumber kekayaan lain yang tidak diungkapkan secara transparan.

Selain data LHKPN, tim investigasi independen yang bekerja sama dengan KP3 juga menemukan adanya aset yang diduga belum dilaporkan oleh Prof. Zamrun. Aset tersebut berupa sebidang tanah dan bangunan mewah yang terletak di Jalan Kancil Lorong Buah Rema, Kelurahan Anduonohu, Kecamatan Poasia, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Nilai aset ini diperkirakan mencapai Rp10 miliar.





Berikut hasil penelusuran tim Investigasi terhadap asset yang tidak dilaporkan dalam LHKPN adalah Aset Tanah dan Bangunan Megah sebagai berikut:

1. Lokasi Lahan Berdasarkan website https://bhumi.atrbpn.go.id/



- Tipe Hak: Hak Milik
- Luas (M2): 1320
- NIB: 00769
- Titik Koordinat: 4.011811°S, 122.540654°E


2. Citra Satelit Aset Tanah dan Bangunan yang Diduga Milik Rektor UHO Prof. Zamrun

(Foto Citra Satelit: 20 Oktober 2020)

(Foto Citra Satelit: 20 Oktober 2021)

(Foto Citra Satelit: 3 Januari 2022)

3. Foto Bagunan Rumah Rektor UHO Prof. Zamrun
(Foto Google Map Agustus 2023)



(Foto Google Map Agustus 2023)

4. Foto Bagunan Rumah Baru Rektor UHO Prof. Zamrun



(Foto Terakhir Maret 2024)



(Foto Terakhir Maret 2024)

Bangunan tersebut, menurut laporan investigasi, diduga kuat tidak tercantum dalam LHKPN Zamrun meski nilainya sangat signifikan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa terdapat upaya penyembunyian aset oleh yang bersangkutan.

Atas temuan ini, KP3 secara tegas meminta KPK untuk segera melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Rektor UHO. Mereka juga mendesak agar lembaga antirasuah tersebut mengusut aliran dana, potensi gratifikasi, serta tindak pidana pencucian uang yang mungkin terkait dengan lonjakan harta kekayaan Zamrun.

Komite Pemuda Pemerhati Pendidikan menegaskan bahwa kasus ini tidak hanya menyangkut persoalan etika pejabat publik, tetapi juga berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi. Mereka menyerukan kepada KPK untuk tidak ragu dalam menindaklanjuti laporan masyarakat yang telah didukung dengan data dan analisis yang jelas.

Amirudin menambahkan, keteladanan dalam kepemimpinan pendidikan tinggi sangat penting, karena rektor adalah panutan bagi civitas akademika. Jika seorang rektor diduga melakukan penyimpangan, maka hal itu dapat berdampak buruk terhadap moral institusi dan mencederai semangat reformasi birokrasi dalam dunia pendidikan. 

Selain dugaan korupsi tersebut, jelang Pemilihan Rektor UHO Periode 2025-2029, Rektor UHO Prof. Muhammad Zamrun diduga tidak melaksanakan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri pada Pasal 6 bahwa Tahap penjaringan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 (lima) ayat (1) huruf a dilaksanakan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Pemimpin PTN yang sedang menjabat. Namun tahapan penjaringan pemilihan Rektor UHO baru dimulai tanggal 10 April 2025. Berdasarkan hal tersebut, kami menduga bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap permen karena masa jabatan Rektor berakhir tanggal 2 Juli 2025.

Selain itu, permasalahan terkait statuta UHO Tahun 2025 yang telah diundangkan oleh Kemenkumham RI sebagaimana Permendikti Saintek RI No 21 Tahun 2025, tidak pernah dibahas dalam rapat senat Universitas Halu Oleo. Walaupun Penyusunan Statuta adalah tugas dan tanggungjawab Rektor, namun sepantasnya sebagai Rektor haruslah melibatkan Senat Universitas dalam membahas Statuta sebelum diajukan di Kemendikti Saintek RI.

Akibat terbitnya Permendikti Saintek RI No 21 Tahun 2025 tentang Statuta UHO, maka berdampak pada perubahan secara masif keanggotaan Senat UHO. Sebagai Catatan Penting, anggota senat UHO telah dan akan mengalami 3 (tiga) kali perubahan, yakni; (1) SK Rektor No. 1271/UN29/2023 tentang penetapan anggota senat UHO periode 2023-2027 tanggal 28 Juli 2023 berjumlah 115 orang anggota senat; (2) SK Rektor No. 230/UN29/2025 tentang penetapan anggota senat UHO pengganti antar waktu (PAW) periode 2023-2027 tanggal 30 Januari 2025 berjumlah 121 orang anggota senat, dan (3) dengan berlakunya Statuta 2025, anggota senat telah dikocok ulang hingga tersisa 49 orang anggota senat yang kemudian ditetapkan oleh Rektor. Terkait pada Point (3) tersebut, maka Rektor telah menerbitkan Peraturan Rektor UHO nomor 1 Tahun 2025 tanggal 13 Maret 2025 tentang Senat Fakultas lingkup UHO dan Peraturan Senat UHO Nomor 1 Tahun 2025 tanggal 12 Maret 2025 tentang tata Cara Pemilihan Anggota Senat Universitas dalam Lingkup UHO, Dimana dalam pasal 5 (lima) ayat 1 (satu) menutup kesempatan Dosen untuk ikut berkompetisi dalam pemilihan anggota senat Tingkat jurusan/prodi,fakultas dan universitas.

Diduga Rektor UHO Prof. Muhammad Zamrun menggunakan Statuta 2025 sebagai landasan pelaksanaan pemilihan Rektor agar dengan mudah mengatur/ mengintervensi/mengendalikan/menekan anggota senat. Dugaan keras maladmisnistrasi tersebut karena pemberlakuan Statuta 2025 yang terkesan pemberlakuannya dipaksakan ditengah proses pemilihan Rektor yang seharusnya sudah berproses pada bulan Februari 2025.

Selain itu, ditemukan dudaan pelanggaran dalam Peraturan Rektor UHO Nomor 1 tahun 2025 tentang  Senat Fakultas dalam Lingkup UHO adalah melanggar STATUTA Nomor 21 tahun 2025 khususnya pasal 30 ayat 10, yang menegaskan bahwa: Tata cara pemilihan anggota Senat dari wakil Dosen setiap fakultas harus diatur dengan Peraturan Senat, bukan dengan Peraturan Rektor. Jadi menurut kami, ini adalah bentuk pelanggaran terhadap STATUTA, apalagi dalam  konsideran Peraturan Rektor tersebut sama sekali  tidak ada rujukan hasil rapat senat (ini lebih fatal lagi pelanggarannya). Oleh karena itu legal standing pemilihan senat di Fakultas atas dasar Peraturan Rektot adalah bentuk pelanggaran STATUTA yg sangat nyata.

Fakta lainnya yang tak kalah serius adalah diterbitkannya Peraturan Rektor UHO Nomor 1 Tahun 2025 yang menetapkan batas usia maksimal anggota senat perwakilan profesor sebesar 65 tahun, bertentangan secara frontal dengan ketentuan Statuta UHO Tahun 2025 (Permendikti Saintek No. 21/2025) dan Peraturan Senat UHO Nomor 1 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa usia maksimal anggota senat wakil dosen adalah 60 tahun. Penerbitan regulasi internal tersebut kami menilai merupakan tindakan yang tidak sah secara hukum (ultra vires) karena dilakukan tanpa kewenangan normatif yang sah dan bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Rektor melakukan rekayasa regulasi demi memenuhi kepentingan tertentu, dan membuka ruang terjadinya conflict of interest (COI) secara sistemik dalam struktur senat fakultas dan universitas.

Dengan begitu, Rektor UHO diduga menyalahgunakan kewenangan dengan melakukan tekanan, intervensi, dan intimidasi terhadap dekan, ketua program studi, hingga dosen, untuk memaksakan figur-figur tertentu sebagai anggota senat, demi membentuk konfigurasi senat yang berpihak padanya. Tindakan tersebut tidak hanya mengarah pada pelanggaran etika jabatan, tetapi juga berpotensi mengganggu tatanan hubungan sosial akademik, menciptakan konflik horizontal di kalangan dosen, serta mengoyak prinsip meritokrasi dan demokrasi kampus.

Rektor UHO juga diduga secara terang-terangan melakukan cawe-cawe dalam proses pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo dengan terlebih dahulu mengkondisikan anggota senat hasil intervensi pada pemilihan anggota senat Tingkat Prodi, Jurusan dan Fakultas untuk kemudian dijadikan sebagai basis suara untuk mengusung salah satu Calon Rektor yakni Prof. Armid. Atas kondisi tersebut, beberapa calon Rektor merasa dirugikan atas Tindakan Rektor tersebut karena menutup ruang bagi kami untuk bersaing secara sehat dan demokratis.

Tak kalah mengejutkan adalah para calon Rektor setelah ditetapkan sebagai Bakal Calon Rektor UHO Periode 2025-2029 tanggal 5 Mei 2025, mereka tidak diberi kesempatan melakukan sosialisasi visi-misi ke anggota-anggota senat dan seluruh sivitas akademika, karena rentang waktu antara penetapan calon, pemaparan visi misi dan program kerja dan pemilihan 3 besar calon Rektor hanya selisih 2 hari yakni tanggal 8 Mei 2025. Hal ini yang diklaim beberapa calon Rektor merasa dijebak karena dalam undangan yang mereka terima adalah undangan untuk pemaparan visi, misi dan program kerja di Auditorium Mokodompit Halu Oleo bukan undangan pemilihan. Namun faktanya proses pemilihan dilakukan pada hari yang sama dengan tempat berbeda dilakukan di ruang senat UHO lantai 4 dengan selisih waktu antara pemaparan visi misi-program kerja dan pemilihan kurang lebih 3 jam. Dalam rentang waktu tersebut, mereka menduga ada tekanan/intervensi Rektor terhadap anggota-anggota senat untuk diarahkan memilih salah satu calon yang diinginkan Rektor.

Atas dugaan pelanggaran dan cawe-cawe Rektor UHO, maka mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di Gedung KPK dan Kemenristekdikti meminta kepada Menteri Prof. Brian Yuliarto sebagai Menristekdikti untuk; Pertama, menghentikan dan mengevaluasi seluruh Tahapan Pemilihan Rektor UHO Periode 2025-2029; Kedua, memberi kesempatan kepada calon Rektor UHO Periode 2025-2029 untuk melakukan sosialisasi visi, misi dan program kerja secara maksimal kepada senat dan sivitas akademika UHO; Ketiga, melakukan Pemilihan Ulang 3 (tiga) besar Calon Rektor UHO Periode 2025-2029 yang telah dilaksanakan pada tanggal 8 April 2025 yang diduga dilakukan secara tidak transparan dan objektif, penuh intervensi/tekanan atau arahan Rektor; Keempat, Menonaktifkan Rektor UHO Periode 2021-2025 agar proses pemilihan UHO Periode 2025-2029 terhindar dari cawe-cawe dan intimidasi Rektor sehingga melahirkan Rektor dari proses yang demokratis dan memiliki integritas, demi transparansi dan objektifitas, tanpa adanya tekanan atau arahan yang memihak dari pihak manapun dalam Pemilihan Rektor UHO Periode 2025-2029. Para demonstran juga meminta agar mengambil alih pemilihan Rektor UHO Periode 2025-2029 dengan menunjuk Pelaksana Tugas (PLT) Rektor.

Prof. Armid: Dugaan Skandal Moral (Staf dan Dosen Diselingkuhi)

Aksi demonstrasi mahasiswa digelar di depan Kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tenggara. Mereka menyuarakan tuntutan tegas agar lembaga pengawas pelayanan publik tersebut segera memeriksa secara menyeluruh salah satu calon Rektor UHO periode 2025–2029 yang diduga terlibat dalam skandal moral.

Aksi yang berlangsung pada Senin, 26 Mei 2025 menyerukan pentingnya moralitas dalam kepemimpinan di dunia pendidikan, khususnya dalam proses pemilihan Rektor UHO. Mereka mendesak agar Ombudsman Sulawesi Tenggara segera meneruskan laporan masyarakat tentang dugaan pelanggaran moral kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Republik Indonesia.

“UHO tidak boleh dipimpin oleh sosok yang tercemar moralnya. Kami mendesak Ombudsman segera mengambil langkah nyata dan melaporkan hal ini ke Kementerian agar menjadi bahan pertimbangan serius dalam proses penetapan rektor,” ujar lantang salah satu peserta aksi.



Menanggapi aksi tersebut, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Tenggara, Mastri Susilo, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima surat laporan terkait dugaan skandal moral yang menyeret nama salah satu calon rektor UHO, yaitu Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama, Prof. Armid. Mastri menjelaskan bahwa laporan itu masuk pekan lalu dan telah didisposisikan kepada tim Penerimaan dan Verifikasi Laporan (PVL) untuk ditindaklanjuti.

“Hari ini kami mulai proses verifikasi formil. Kami sudah mencoba menghubungi pelapor melalui nomor yang tercantum dalam laporan, namun sayangnya nomor tersebut tidak aktif,” ungkap Mastri kepada awak media.

Meski begitu, Mastri menegaskan bahwa Ombudsman tetap berkomitmen untuk menyelesaikan proses ini secara profesional. Jika dalam waktu 14 hari ke depan pelapor tidak melengkapi persyaratan administratif, maka sesuai prosedur internal Ombudsman, laporan dianggap gugur atau dicabut secara otomatis oleh pelapor.



“Kami akan bersurat ke alamat sekretariat pelapor. Jika tidak ada respons dalam tenggat waktu yang ditentukan, proses tidak bisa dilanjutkan. Namun jika syarat formil dilengkapi, maka akan berlanjut ke verifikasi materiil,” tegasnya.

Laporan terhadap Prof. Armid pertama kali dilayangkan oleh Koalisi Pemerhati Perempuan dan Anak (KPPA) Sultra. Dalam laporannya yang disampaikan oleh Koordinator KPPA, Dahlia, disebutkan bahwa dugaan skandal moral ini mencuat setelah beredarnya sebuah video viral di media sosial TikTok melalui akun @Tie Saranani.

Dalam video tersebut, diklaim bahwa Prof. Armid pernah menjalin hubungan tak resmi dengan seorang perempuan bernama Rahma, yang merupakan mantan stafnya saat menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) UHO pada tahun 2012. Parahnya, hubungan tersebut bahkan disebut telah menghasilkan anak di luar nikah.

“Ini bukan sekadar isu pribadi, tapi menyangkut integritas seorang calon pemimpin institusi pendidikan. UHO adalah simbol intelektualitas Sulawesi Tenggara. Jika dipimpin oleh sosok yang memiliki catatan buruk moral, maka citra universitas akan hancur,” tegas Dahlia dalam pernyataan tertulisnya.



Tidak berhenti sampai di situ, KPPA juga menambahkan bahwa Prof. Armid diduga memiliki hubungan perselingkuhan dengan seorang dosen dari Universitas Diponegoro, drh. Siti Susanti, Ph.D. Sosok perempuan yang disebut bekerja sebagai staf pengajar di Undip tersebut ditengarai menjalin hubungan pribadi yang tak pantas dengan Prof. Armid di luar konteks profesionalisme akademik.

Meski belum ada keterangan resmi dari pihak-pihak yang dituduh, laporan ini telah menggugah kekhawatiran publik, terutama civitas akademika UHO yang merasa bahwa standar moral calon rektor harus dijaga dengan ketat.

Lebih lanjut, laporan tersebut juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap aturan administrasi dalam proses pencalonan rektor. Pada poin ke-16 dari persyaratan administratif bagi bakal calon rektor UHO periode 2025–2029, disebutkan bahwa setiap calon wajib menandatangani surat pernyataan tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap integritas akademik dan moral.

Dengan adanya tuduhan tersebut, KPPA menilai bahwa Prof. Armid telah melanggar komitmen moral yang sebelumnya telah ia nyatakan sendiri. Oleh karena itu, menurut mereka, kelayakan Prof. Armid untuk melanjutkan pencalonannya sebagai rektor patut dipertanyakan.

“Tindakan yang dilakukan Prof. Armid mencederai integritas institusi. Maka dari itu, kami meminta kepada Ketua Ombudsman RI Perwakilan Sultra untuk menyelidiki lebih dalam dan tidak membiarkan isu ini dibiarkan tenggelam begitu saja,” kata Dahlia.

IMM, KPPA, Mahasiswa dan para alumni UHO yang terlibat dalam aksi ini memiliki satu tuntutan utama: kejelasan dan transparansi. Mereka tidak ingin isu ini hanya menjadi polemik sesaat yang berakhir tanpa penyelesaian. Mereka juga menegaskan bahwa laporan tersebut tidak dibuat dengan niat menjatuhkan pribadi seseorang, melainkan sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan UHO sebagai institusi pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral.



“Jika kampus dipimpin oleh orang yang tidak bermoral, maka kita sedang mewariskan kebobrokan kepada generasi berikutnya. Kami tidak akan diam,” ujar salah satu alumni UHO yang ikut dalam aksi.

Kini, semua mata tertuju pada Ombudsman Sulawesi Tenggara. Masyarakat, mahasiswa, dan para pengamat pendidikan menunggu langkah konkret dari lembaga ini dalam merespons laporan tersebut. Proses verifikasi formil yang tengah berjalan diharapkan dapat segera diselesaikan agar dilanjutkan ke tahap materiil, sehingga kebenaran bisa terungkap secara objektif dan menyeluruh.

Di tengah proses pemilihan Rektor UHO yang sedang berlangsung, desakan moral seperti ini menjadi pengingat bahwa jabatan akademik tertinggi bukan hanya soal kompetensi, tapi juga tentang karakter dan integritas pribadi.

Prof. Eka Suaib Dipecat dari KPU Sultra oleh DKPP, Tetap Dilantik Jadi Dekan FISIP UHO

Prof. Dr. H. Eka Suaib, M.Si., yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Halu Oleo (UHO), kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, pengangkatannya sebagai dekan dinilai kontroversial karena rekam jejaknya yang tercoreng dalam tata kelola birokrasi, khususnya saat menjabat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara.

Nama Eka Suaib pernah tercatat dalam daftar pejabat yang dijatuhi sanksi berat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia. Dalam sidang yang digelar pada Senin, 29 Oktober 2012, DKPP secara tegas memutuskan pemberhentian tetap terhadap Ketua dan seluruh anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, termasuk Eka Suaib. Mereka dinyatakan bersalah karena melanggar kode etik dan sumpah jabatan sebagai penyelenggara pemilu.

Sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua DKPP saat itu, Prof. Jimly Asshiddiqie, menghasilkan keputusan final dan mengikat. Lima orang yang diberhentikan yakni Ir. Mas'udi (Ketua), Bosman, S.Si., S.H., M.H., Abdul Syahir, S.Sos., S.H., M.H., Dr. H. Eka Suaib, M.Si., dan La Ode Arddin, S.E. Kelima nama tersebut diberhentikan terhitung sejak putusan dibacakan.

"Menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Teradu selaku Ketua dan Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara," tegas Jimly saat membacakan putusan.

DKPP juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk segera menindaklanjuti keputusan tersebut, sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta melakukan pengawasan atas proses eksekusi.

Anggota DKPP lain yang turut hadir dalam pembacaan putusan di antaranya Pdt. Saut Hamonangan Sirait, Nur Hidayat Sardini, dan Nelson Simanjuntak. Meski yang membacakan hanya beberapa orang, putusan tersebut merupakan hasil rapat pleno dari tujuh anggota DKPP dan bersifat final.

Salah satu pelanggaran serius yang dilakukan oleh anggota KPU Sultra kala itu adalah ketidaknetralan mereka dalam pemilihan kepala daerah. Bahkan, KPU Sultra disebut terpecah menjadi dua blok yang masing-masing secara terang-terangan mendukung calon gubernur berbeda.

Dalam proses penetapan calon, Eka Suaib bersama Abdul Syahir dan La Ode Arddin diduga keras mendorong agar Ali Mazi diloloskan sebagai calon gubernur. Di sisi lain, Ketua KPU Sultra Mas'udi dan Bosman menolak meloloskan Ali Mazi dalam tahap verifikasi. Perselisihan ini menyebabkan dua keputusan berbeda dalam rapat pleno, yang akhirnya memicu kebingungan dan kontroversi di tingkat pusat.

Dalam pleno tersebut, kubu Mas’udi hanya meloloskan tiga pasangan calon, sedangkan kubu tandingan memasukkan empat calon, termasuk Ali Mazi. Akhirnya, setelah ditangani oleh KPU Pusat, hanya tiga pasangan calon yang dinyatakan sah mengikuti kontestasi, yaitu Buhari Matta-Amirul Tamim, Nur Alam-Saleh Lasata, dan Ridwan Bae-Khaerul Saleh.

“Padahal, KPU di seluruh Indonesia tidak boleh memihak,” ujar Jimly menegaskan prinsip dasar netralitas penyelenggara pemilu.

Ironisnya, meski memiliki rekam jejak pelanggaran etik yang berat, Prof. Eka Suaib tetap dilantik menjadi Dekan FISIP UHO. Pelantikan ini menuai kritik karena dinilai mengabaikan nilai-nilai etika dan integritas dalam tata kelola institusi pendidikan tinggi.

Banyak pihak mempertanyakan keputusan Rektor UHO yang tetap melantik Eka Suaib, seolah tidak memedulikan catatan kelamnya di masa lalu. Bahkan muncul anggapan bahwa pelantikan ini mencerminkan kesamaan cara pandang dan perilaku di tubuh pimpinan UHO dalam memaknai integritas birokrasi.

Pelantikan seorang mantan penyelenggara pemilu yang telah diberhentikan karena pelanggaran etik berat menjadi pejabat kampus, dinilai kontraproduktif dengan semangat reformasi birokrasi dan upaya menjaga moralitas akademik.

Kasus ini seharusnya menjadi peringatan bagi seluruh institusi, terutama di lingkungan pendidikan tinggi, untuk lebih selektif dan transparan dalam memilih pemimpin. Penunjukan dekan bukan hanya soal administratif dan akademik semata, melainkan juga soal integritas, etika, dan kepercayaan publik.

Seorang pemimpin fakultas tidak hanya bertugas mengelola kegiatan belajar mengajar, tetapi juga menjadi simbol moralitas dan keteladanan bagi civitas akademika. Ketika seorang yang pernah terbukti melanggar kode etik justru diberi jabatan strategis di kampus, maka muncul pertanyaan besar tentang arah dan nilai yang sedang dibangun dalam institusi tersebut.

Jika pendidikan tinggi ingin tetap menjadi benteng terakhir akal sehat dan etika publik, maka proses pemilihan pemimpinnya pun harus mencerminkan prinsip-prinsip tersebut secara nyata, bukan justru mempertontonkan kompromi terhadap masa lalu yang bermasalah. (rhm/fntv)