Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terungkap! Inilah Jejak 4 Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat: Dari BUMN hingga Raksasa China!



Framing NewsTV - Raja Ampat, salah satu surga dunia yang terletak di ujung timur Indonesia, kini tengah menghadapi ancaman serius. Bukannya dipelihara sebagai kawasan konservasi laut dan daratan yang luar biasa, wilayah ini justru dibayangi bahaya kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel.

Baru-baru ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengendalian Lingkungan Hidup melakukan pengawasan terhadap aktivitas tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada 26–31 Mei 2025. Hasilnya mengungkap keberadaan empat perusahaan tambang nikel yang tidak hanya menambang di wilayah sensitif, namun juga terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau.

Berikut ini adalah profil lengkap dari keempat perusahaan tersebut yang kini menjadi sorotan publik dan aktivis lingkungan:

1. PT Gag Nikel (PT GN): Tambang BUMN di Pulau Kecil

PT Gag Nikel merupakan anak usaha dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Perusahaan ini beroperasi di Pulau Gag dengan wilayah izin yang membentang seluas lebih dari 13.000 hektare. Meski telah memegang Kontrak Karya sejak tahun 1998, kegiatan penambangan di Pulau Gag memicu kontroversi karena lokasi tersebut termasuk dalam kategori pulau kecil.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas industri ekstraktif seperti tambang tidak diperkenankan di pulau kecil, karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.

PT Gag Nikel dulunya dimiliki mayoritas oleh perusahaan asing Asia Pacific Nickel Pty Ltd. Namun sejak 2008, PT Antam Tbk mengakuisisi seluruh saham asing tersebut dan kini sepenuhnya mengendalikan operasional perusahaan.

Pada tahun 2017, PT Gag Nikel mendapatkan izin produksi, dan mulai menjalankan kegiatan penambangan setahun kemudian. Di tengah statusnya sebagai BUMN, kehadiran PT Gag Nikel di pulau kecil ini menjadi tanda tanya besar terhadap konsistensi pemerintah dalam menegakkan perlindungan lingkungan.

2. PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP): Jejak China di Raja Ampat

Berbeda dengan PT Gag Nikel yang merupakan perusahaan nasional, PT Anugerah Surya Pratama adalah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) asal Tiongkok. Entitas ini diketahui melakukan aktivitas penambangan di Pulau Manuran dengan luas area sekitar 756 hektare.

Yang mengkhawatirkan, berdasarkan hasil pengawasan KLHK, PT ASP tidak memiliki sistem manajemen lingkungan dan tidak melakukan pengelolaan limbah larian secara baik. Ini berarti risiko pencemaran tanah dan air sangat besar di wilayah sensitif seperti Raja Ampat.

PT ASP diketahui merupakan bagian dari konglomerasi tambang nikel asal China, yaitu Wanxiang Nickel Indonesia, yang juga memiliki operasi besar di kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah. Keterlibatan investor asing dalam praktik tambang yang merusak lingkungan menjadi alarm bagi Indonesia untuk lebih selektif dalam menerima investasi di sektor ekstraktif.

Lebih lanjut, kegiatan tambang PT ASP juga melanggar UU 1/2014 karena berlangsung di pulau kecil. Sayangnya, hingga kini, belum ada langkah tegas yang dilakukan oleh otoritas terhadap pelanggaran ini.

3. PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP): Tanpa Izin Lingkungan, Eksplorasi Dihentikan

PT Mulia Raymond Perkasa termasuk salah satu perusahaan tambang yang paling minim informasinya. Berdasarkan catatan KLHK, perusahaan ini melakukan kegiatan eksplorasi di Pulau Batang Pele. Namun, investigasi menemukan bahwa PT MRP tidak memiliki dokumen lingkungan maupun Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).

Karena tidak memenuhi aspek legalitas dasar, seluruh kegiatan eksplorasi PT MRP akhirnya dihentikan. Kantor pusat perusahaan ini tercatat berada di kawasan elit perkantoran The Boulevard Office, Jakarta Pusat. Ketertutupan informasi dari perusahaan ini memperbesar kecurigaan publik terhadap praktik-praktik tambang ilegal yang berlangsung di daerah yang selama ini dikenal sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati laut Indonesia.

4. PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM): Tambang Ilegal di Pulau Kawe

PT Kawei Sejahtera Mining adalah perusahaan keempat yang juga mendapat sorotan tajam dalam laporan KLHK. Beroperasi di Pulau Kawe, perusahaan ini memang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan masa berlaku hingga 26 Februari 2033. Namun, temuan di lapangan menunjukkan bahwa PT KSM melakukan penambangan di luar izin lingkungan dan kawasan PPKH.

Akibat aktivitas ilegal tersebut, terjadi sedimentasi di pesisir pantai yang mengganggu keseimbangan ekosistem laut setempat. PT KSM kemudian dikenai sanksi administratif oleh pemerintah berupa kewajiban pemulihan lingkungan. Tidak menutup kemungkinan perusahaan ini juga akan menghadapi gugatan perdata dari pihak-pihak yang dirugikan.

Sayangnya, seperti PT MRP, informasi publik mengenai struktur manajemen dan pemilik modal PT KSM sangat terbatas. Ketertutupan ini menambah rumit upaya advokasi lingkungan yang berjuang melindungi Raja Ampat dari kehancuran.

Mengapa Harus Waspada? Ini Bukan Sekadar Pelanggaran Administratif

Masalah tambang di Raja Ampat bukan sekadar soal pelanggaran administratif. Kawasan ini merupakan habitat penting bagi terumbu karang, biota laut langka, serta komunitas lokal yang menggantungkan hidup dari laut dan hutan. Sekali ekosistem rusak akibat tambang, tidak ada cara mudah untuk memulihkannya.

Selain itu, keterlibatan perusahaan asing dalam praktik tambang yang merusak, serta lemahnya pengawasan, menunjukkan adanya celah dalam kebijakan investasi yang seharusnya mengutamakan keberlanjutan dan kedaulatan sumber daya alam.

Kasus ini juga membuka mata publik bahwa perizinan yang sudah sah sekalipun, seperti IUP, belum tentu menjamin perusahaan mematuhi prinsip perlindungan lingkungan.

Seruan untuk Pemerintah dan Publik

Kasus di Raja Ampat ini menjadi peringatan keras bahwa pengelolaan tambang di Indonesia masih penuh persoalan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta aparat penegak hukum harus bersinergi untuk memastikan perusahaan-perusahaan tambang, baik nasional maupun asing, tidak melanggar aturan.

Lebih penting lagi, suara publik harus terus disuarakan. Raja Ampat bukan hanya aset Papua, tapi juga warisan dunia yang harus dijaga bersama.

Jika eksploitasi terus terjadi tanpa pengawasan ketat dan transparansi, maka bukan tidak mungkin Raja Ampat akan berubah dari surga bawah laut menjadi kawasan rusak dan tercemar. (fntv)