Walikota Bogor: Bakteri Salmonella dan E-Coli Terkandung dalam Menu MBG
Bogor — Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan untuk meningkatkan gizi siswa di Kota Bogor justru berubah menjadi petaka. Ratusan siswa dari delapan sekolah dilaporkan mengalami keracunan usai mengonsumsi makanan yang disediakan oleh salah satu penyedia program. Hasil pemeriksaan laboratorium pun mengungkap fakta mengejutkan: dua bakteri berbahaya, Escherichia coli (E.coli) dan Salmonella, ditemukan dalam menu makanan yang disantap para siswa.
Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim, mengumumkan hasil temuan tersebut dalam konferensi pers pada Senin (12/5), usai menerima laporan lengkap dari Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Bogor. Ia menyebutkan bahwa kedua bakteri tersebut ditemukan dalam dua jenis menu yang disediakan oleh penyedia katering SPPG Bina Insani.
“Dari hasil pemeriksaan lab yang sudah kita lakukan kurang lebih hampir empat hari terakhir, hasilnya menunjukkan bahwa beberapa bahan makanan ternyata mengandung bakteri E.coli dan Salmonella,” ungkap Dedie.
Menu yang dimaksud adalah telur ceplok berbumbu barbekyu dan tumis tahu toge. Dua jenis hidangan inilah yang menjadi bagian dari menu MBG yang disalurkan ke sejumlah sekolah, dan dikonsumsi oleh ratusan siswa pada hari kejadian.
“Intinya, bakteri ini datang dari ceplok telor yang dikasih bumbu barbekyu. Kemudian yang kedua ada tumis tahu dan toge yang juga terindikasi mengandung salmonella,” lanjutnya.
Fakta lain yang tak kalah mencemaskan adalah proses pengolahan makanan yang jauh dari standar keamanan. Telur ceplok berbumbu barbekyu, misalnya, diketahui dimasak pada malam hari namun baru dikonsumsi oleh siswa pada siang keesokan harinya. Rentang waktu penyimpanan ini disinyalir menjadi celah berkembangnya bakteri, terutama bila tidak ditunjang dengan sistem pendingin dan kebersihan yang memadai.
“Menurut data yang kita peroleh, memasaknya itu kurang lebih di malam harinya dan kemudian didistribusikannya siang hari. Ini tentu sangat berisiko jika tak dikelola dengan baik,” kata Dedie menegaskan.
Tak hanya makanan, pihak Labkesda juga melakukan pengambilan sampel air dan pemeriksaan langsung terhadap tubuh korban untuk menelusuri kemungkinan kontaminasi lain. Namun, hasil pemeriksaan lanjutan tersebut masih dalam proses analisis lebih lanjut.
Kejadian ini, tegas Dedie, tidak boleh dianggap sebagai insiden biasa. Ia menilai perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh aspek penyelenggaraan program MBG, mulai dari proses pengadaan, penyimpanan, hingga distribusi makanan.
“Jadi jangan dianggap sepele, karena ini betul-betul sesuatu yang sangat serius. Mengingat anak-anak terdampak keracunan makanan, maka Pemerintah Kota Bogor harus terlibat penuh, terutama dalam penanganan medis dan pencegahan agar tidak terulang kembali,” ujar Dedie.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor, Sri Nowo Retno, memaparkan bahwa total 210 siswa dari delapan sekolah mengalami gejala keracunan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 34 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit, 47 orang dirawat jalan, dan 129 lainnya hanya mengalami keluhan ringan.
“Sebaran kasus berdasarkan sekolah berasal dari delapan sekolah yang telah melaporkan kejadian. Jumlah totalnya 210 siswa dengan kondisi bervariasi,” jelas Sri.
Peristiwa ini memicu reaksi keras dari masyarakat, khususnya orang tua siswa. Banyak yang mempertanyakan bagaimana standar kebersihan dan pengawasan bisa dilonggarkan dalam program yang menyangkut kesehatan anak-anak. Pemerintah Kota Bogor pun menjanjikan investigasi lanjutan dan kemungkinan sanksi tegas terhadap pihak penyedia makanan jika terbukti lalai.
Program Makanan Bergizi Gratis, yang semula digadang-gadang sebagai solusi peningkatan kualitas gizi siswa, kini harus dievaluasi secara menyeluruh. Bagi Pemkot Bogor, kejadian ini menjadi peringatan keras bahwa penyelenggaraan program sosial tak hanya soal distribusi, tetapi juga soal tanggung jawab terhadap keselamatan warga, terutama anak-anak. (fntv/eks)