Viral Meme Prabowo-Jokowi, Mahasiswi ITB Akhirnya Minta Maaf: “Kami Mohon Ampun dan Pembinaan”
Jakarta – Seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS akhirnya buka suara usai video dan meme yang ia unggah menjadi viral di media sosial. Meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dalam situasi satir memicu kontroversi dan membuat SSS harus berhadapan dengan proses hukum.
Dalam konferensi pers di Mabes Polri pada Minggu (11/5), SSS melalui kuasa hukumnya, Khaerudin Hamid Ali Sulaiman, menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada Prabowo, Jokowi, dan seluruh masyarakat Indonesia atas kegaduhan yang telah terjadi.
"Kami dan klien kami menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada Bapak Presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi atas perilaku klien kami yang mengunggah konten tidak pantas dan menimbulkan kehebohan di ruang publik," ujar Khaerudin.
Permintaan maaf ini tidak hanya bersifat lisan. SSS dan keluarganya juga secara resmi mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Bareskrim Polri setelah mempertimbangkan sikap kooperatif dan penyesalan mendalam dari pihak SSS.
Ucapan Terima Kasih dan Harapan untuk Pembinaan
Dalam pernyataan lanjutan, SSS juga menyampaikan rasa terima kasih mendalam kepada Presiden Prabowo, Jokowi, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas pertimbangan dan empati dalam kasus ini.
"Kami sangat berterima kasih atas dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan yang kami ajukan. Ini juga tak lepas dari dukungan orang tua kami dan kampus," tutur Khaerudin mewakili SSS.
Ia menambahkan, SSS akan menjalani pembinaan lebih lanjut oleh orang tuanya dan pihak kampus agar kejadian serupa tidak terulang dan mahasiswa dapat menggunakan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab.
Respons Publik: Antara Hukum dan Demokrasi
Kasus ini menuai perhatian luas dari masyarakat. Sejumlah pihak mempertanyakan langkah hukum terhadap SSS, termasuk anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman, yang secara terbuka menawarkan diri sebagai penjamin penangguhan penahanan.
Sebagai politisi Partai Gerindra—partai yang dipimpin oleh Presiden Prabowo—Habiburokhman menilai SSS tidak layak diproses hukum secara berlebihan, dan menegaskan bahwa mahasiswi tersebut tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya.
“Saya yakin dia tidak berbahaya. Kita harus bersikap bijak agar hukum tidak menjadi alat membungkam kritik,” ujar Habiburokhman.
Desakan Akademisi: Presiden Harus Bertindak Aktif
Sementara itu, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyuarakan pandangan kritis terhadap sikap pemerintah. Ia mendesak agar Presiden Prabowo tidak hanya bersikap pasif, tetapi secara aktif meminta aparat kepolisian untuk melepaskan SSS.
"Pernyataan bahwa Presiden tidak melaporkan itu belum cukup. Kepala negara seharusnya hadir secara aktif dalam membela ruang demokrasi," kata Herdiansyah dalam pesan tertulis.
Menurutnya, jika Presiden Prabowo ingin menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi, ia harus memberikan sinyal tegas bahwa kebebasan berpendapat adalah hal yang dilindungi, bukan dijerat oleh hukum.
YLBHI: Ini Kritik, Bukan Penghinaan
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, turut memberikan pandangan. Menurutnya, konten meme yang diunggah SSS harus dipandang sebagai bentuk kritik sosial dan politik, bukan penghinaan terhadap kepala negara.
"Mahasiswi ini sedang mengkritik relasi kekuasaan antara Prabowo dan Jokowi, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai ‘matahari kembar’. Kritik ini sah dalam negara demokrasi," ujar Isnur.
Ia menegaskan bahwa menjerat pembuat meme dengan hukum pidana adalah langkah yang membahayakan kebebasan berekspresi, terutama di kalangan mahasiswa yang justru seharusnya menjadi motor penggerak pemikiran kritis.
Arah Baru Demokrasi: Ujian di Era Prabowo
Kasus SSS menjadi ujian awal bagi Presiden Prabowo Subianto dalam memimpin demokrasi di Indonesia. Bagaimana pemerintah merespons kritik dan ekspresi publik akan menentukan arah kebijakan demokrasi ke depan.
Bagi masyarakat sipil, ini bukan sekadar soal meme, tapi soal prinsip dasar kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi. Masyarakat kini menantikan apakah Presiden akan mengambil peran sebagai penjaga demokrasi, atau justru membiarkan aparat berjalan tanpa kontrol politik.
Kasus ini mungkin telah mereda dengan penangguhan penahanan, tetapi perdebatan soal batas antara kritik dan penghinaan, serta ruang ekspresi mahasiswa, akan terus bergema. (fntv/fntv)