Skandal Cawe-cawe Rektor UHO Terkuak! Pemilihan Rektor Diwarnai Drama dan Intervensi?
Proses pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) periode 2025–2029 tengah menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, menyusul dugaan keterlibatan langsung Rektor aktif dalam mengarahkan hasil pemilihan melalui intervensi yang sistematis sejak tahap awal pembentukan senat. Kuat dugaan, tindakan ini dilakukan untuk memastikan kemenangan salah satu calon rektor tertentu, sehingga mencederai prinsip demokrasi kampus.
Indikasi "cawe-cawe" atau keterlibatan langsung Rektor UHO terlihat sejak proses awal pembentukan anggota senat di tingkat program studi, jurusan, hingga fakultas. Proses tersebut diduga telah direkayasa untuk menghasilkan formasi senat yang "terkondisikan", yang kemudian digunakan sebagai basis suara mendukung calon rektor pilihan Rektor. Kondisi ini disinyalir telah menutup ruang kompetisi yang adil bagi seluruh calon.
Sejumlah fakta menguatkan dugaan tersebut. Pertama, setelah penetapan bakal calon rektor pada 5 Mei 2025, para calon tidak diberikan waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi. Lazimnya, sosialisasi diberikan waktu 2–3 minggu agar para calon dapat memperkenalkan visi, misi, serta program kerja mereka kepada anggota senat dan sivitas akademika. Namun dalam kasus ini, jeda waktu antara penetapan calon dan pelaksanaan pemilihan hanya berselang dua hari, yaitu pada 8 Mei 2025.
Kedua, undangan yang diterima para calon rektor hanya mencantumkan agenda pemaparan visi, misi, dan program kerja di Auditorium Mokodompit UHO. Namun ternyata, pada hari yang sama, pemilihan tiga besar calon rektor dilakukan secara mendadak di ruang senat lantai 4 dengan selisih waktu hanya sekitar tiga jam setelah pemaparan. Hal ini memunculkan dugaan bahwa proses pemilihan dilakukan secara diam-diam, di bawah tekanan dan arahan tertentu.
Ketiga, dalam pemungutan suara yang digelar pada 8 Mei 2025, hasilnya memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. Dari 49 anggota senat, perolehan suara terbagi sebagai berikut:
· Prof. Armid: 32 suara
Ketimpangan suara tersebut dinilai oleh banyak pihak sebagai cermin dari intervensi dan tidak netralnya proses pemilihan.
Pengamat Hukum sekaligus Alumni Fakultas Hukum UHO, Dr. LM Bariun, SH, MH, turut bersuara keras. Ia mengungkapkan bahwa proses seleksi calon rektor sarat dengan keberpihakan dan tekanan yang sistematis. Menurut Bariun, angka 32 suara untuk satu calon sangat tidak wajar dalam kompetisi yang seharusnya berlangsung demokratis dan terbuka.
“Seharusnya dalam proses pemilihan rektor, semua calon mendapatkan kesempatan yang sama dan adil. Namun kenyataannya, ada kesan keberpihakan dari Rektor UHO terhadap salah satu calon,” ujar Bariun pada Jumat, 9 Mei 2025.
Ia menambahkan bahwa seorang rektor semestinya bersikap netral, karena seluruh calon adalah kader terbaik universitas. Ketidakadilan dalam proses ini hanya akan menciptakan iklim kampus yang tidak kondusif.
Lebih lanjut, Bariun mengungkapkan bahwa beberapa hari sebelum pemilihan, Inspektorat sempat turun tangan untuk meninjau jalannya proses. Temuan Inspektorat menunjukkan bahwa waktu pelaksanaan yang terlalu singkat telah menghambat calon dalam melakukan sosialisasi yang layak kepada seluruh pemangku kepentingan di kampus.
“Situasi ini tidak mencerminkan proses demokrasi yang sehat. Kami mendesak pihak Mendiktisaintek untuk meninjau kembali proses ini, apakah benar-benar berjalan demokratis atau justru sarat dengan intervensi,” tegasnya.
Bariun memperingatkan bahwa ketidaknetralan pimpinan kampus akan mencoreng nilai-nilai demokrasi dan meritokrasi dalam lingkungan akademik. Ia menekankan pentingnya transparansi dan objektivitas dalam seluruh tahapan seleksi, terutama pada tahap penyaringan hingga tiga besar calon rektor yang akan dikirim ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek RI).
“Jika rektor memberikan ruang kompetisi yang sehat dan adil, saya yakin suara senat akan terbagi lebih seimbang. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, satu calon mendominasi secara mencolok. Ini patut dipertanyakan,” ungkapnya.
Menutup pernyataannya, Bariun menegaskan bahwa kampus adalah pusat intelektualitas dan seharusnya menjadi panutan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Ia menyerukan agar Kemendiktisaintek melakukan evaluasi objektif terhadap proses dan rekam jejak para calon.
“Jika ditemukan pelanggaran prinsip demokrasi atau keberpihakan, hasil pemilihan ini perlu dikaji ulang demi menjaga integritas institusi pendidikan tinggi,” pungkasnya.
Kini, publik menanti langkah tegas dari Kemendiktisaintek RI dan Mitra Kerja yakni Komisi X DPR RI. Akankah tahapan Pemilihan Rektor UHO periode 2025–2029 dihentikan untuk kemudian dievaluasi secara menyeluruh? Ataukah, demi menjamin transparansi dan objektivitas, Kemendiktisaintek akan mengambil alih proses dengan menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) Rektor?
Situasi ini menjadi ujian bagi integritas sistem pendidikan tinggi di Indonesia—dan patut kita tunggu kelanjutannya. (RHM**)