Media Asing Tiba-Tiba Sorot Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, Ada Apa?
JAKARTA – Nama Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tiba-tiba menjadi sorotan media asing. Channel News Asia (CNA), media berbasis di Singapura, memuat laporan mendalam tentang sejumlah kebijakan kontroversial kepala daerah di Indonesia, termasuk salah satu program militeristik yang digagas oleh Dedi. Laporan itu dimuat dalam artikel berjudul "Innovative or 'dangerous'? Indonesia's local leaders raise eyebrows with vasectomy-for-aid and other schemes."
Dalam laporan tersebut, CNA menyoroti bagaimana 961 kepala daerah di Indonesia memiliki keleluasaan untuk membuat kebijakan mereka sendiri. Namun dari sekian banyak program inovatif (atau dianggap aneh oleh sebagian kalangan), inisiatif Dedi Mulyadi di Purwakarta, Jawa Barat, mencuat karena cukup kontroversial: kamp pelatihan bergaya militer bagi pelajar bermasalah.
Dalam narasi CNA, digambarkan puluhan remaja laki-laki mengenakan seragam hijau dan topi mirip milik TNI, berbaris rapi sambil berteriak komando di tengah lapangan. Suasana itu bukanlah pelatihan militer resmi, melainkan bagian dari program pembinaan siswa SMP yang pernah terlibat kenakalan remaja atau tindakan pelanggaran. Program ini berlangsung selama 14 hari dan dilakukan dengan pendekatan semi-militer.
“Orang mungkin mengira mereka adalah tentara yang sedang menjalani pelatihan, tetapi sebenarnya mereka adalah siswa SMP Indonesia yang dianggap penjahat,” tulis CNA dalam laporannya yang dikutip Senin (12/5/2025).
Program yang dijalankan dengan melibatkan pos-pos militer regional, TNI, dan juga Polri ini telah menyedot anggaran Rp6 miliar dari pemerintah provinsi, dan menargetkan hingga 2.000 siswa untuk ikut serta.
Tentu saja, inisiatif ini menuai pro dan kontra. Sejumlah anggota parlemen dan kelompok pegiat hak asasi manusia mempertanyakan apakah pendekatan ala militer merupakan metode yang tepat untuk mendidik anak-anak. Namun Dedi Mulyadi bergeming. Ia justru menegaskan bahwa sebagai pemimpin, ia harus teguh terhadap kebijakan yang diyakininya berdampak positif.
“Jika Anda seorang pemimpin, Anda harus sekuat batu karang,” kutip CNA dari pernyataan Dedi.
“Jika Anda memiliki pikiran dan ide, jangan pernah menyerah,” tambahnya.
Namun kamp pelatihan militer bukan satu-satunya kebijakan Dedi yang menuai perhatian CNA. Media ini juga menyoroti program kontroversial lainnya, yakni insentif vasektomi bagi pria miskin.
Dengan latar belakang Jawa Barat sebagai provinsi terpadat di Indonesia dengan populasi sekitar 50 juta jiwa dan tingkat kemiskinan 7,5 persen, Dedi menggulirkan program insentif sebesar Rp500 ribu untuk pria yang bersedia menjalani vasektomi. Tujuannya adalah untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yang dianggap berkontribusi pada kemiskinan struktural.
“Ini bukan paksaan, tapi undangan untuk berbagi tanggung jawab,” kata Dedi dalam pernyataan yang juga dikutip CNA.
CNA menilai, kebijakan semacam ini mungkin terdengar aneh atau bahkan radikal di mata sebagian pihak, tetapi menunjukkan bagaimana kepala daerah di Indonesia memiliki ruang gerak luas dalam menentukan pendekatan kebijakan.
Dedi Mulyadi bukan satu-satunya pemimpin lokal yang disorot CNA. Gubernur Jakarta, Pramono Anung, juga masuk dalam laporan karena kebijakannya yang mewajibkan seluruh aparatur sipil negara (ASN) menggunakan transportasi umum sejak 30 April lalu. Pegawai yang mengikuti program ini harus mengambil swafoto di dalam kendaraan umum sebagai bukti keikutsertaan.
Tujuan utama program ini adalah mengurangi kemacetan dan polusi udara di Jakarta yang sudah lama menjadi persoalan akut. Namun hingga saat ini, CNA mencatat bahwa belum ada sanksi yang diberikan kepada sekitar 50.000 ASN yang tidak mematuhi kebijakan tersebut.
Sorotan juga diarahkan ke Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi. Ia diberitakan karena kebijakannya melarang waria tampil bernyanyi di atas panggung hiburan dalam acara-acara publik. Larangan ini mulai diberlakukan sejak April lalu, dan menurut pemerintah daerah setempat, langkah itu diambil setelah banyaknya keluhan masyarakat yang menilai penampilan waria di atas panggung melanggar norma sosial.
Untuk memperkaya laporan, CNA juga melibatkan pendapat para analis lokal. Disebutkan bahwa program-program unik dan kadang kontroversial semacam itu bisa berdampak besar terhadap elektabilitas atau popularitas kepala daerah. Ada yang menilai bahwa inovasi seperti ini bisa jadi solusi cepat untuk persoalan sosial, tetapi tak jarang juga dianggap reaktif, otoriter, dan kurang sensitif terhadap nilai-nilai hak asasi manusia.
Dari perspektif media internasional seperti CNA, perhatian terhadap Dedi Mulyadi dan sejumlah kepala daerah lain menunjukkan bahwa kebijakan lokal di Indonesia kini mulai mendapat sorotan global—baik karena keberaniannya, maupun karena potensi kontroversinya.(fntv/fntv)