Prabowo di KTT Gaza: Antara Diplomasi Perdamaian dan Paradoks “Gaza Plan” yang Mengubur Solusi Dua Negara
Sharm El-Sheikh, Mesir, Framing NewsTV - Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di Konferensi Perdamaian Gaza (Gaza Peace Summit) menjadi salah satu momen penting dalam diplomasi luar negeri Indonesia. Dalam forum internasional yang dihadiri oleh puluhan pemimpin dunia itu, Prabowo berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh besar seperti Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, serta sejumlah pemimpin negara Timur Tengah.
Bagi publik dalam negeri, penampilan Prabowo di Sharm El-Sheikh dianggap sebagai kelanjutan dari pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB beberapa waktu lalu, ketika ia menyerukan perdamaian segera di Gaza dan menegaskan bahwa solusi dua negara (two-state solution) harus menjadi fondasi penyelesaian konflik Israel–Palestina. Namun di balik gemerlap diplomasi dan tepuk tangan di ruang konferensi Mesir itu, tersembunyi ironi yang mendalam.
Gaza Peace Summit dan Paradoks “Rencana Damai”
KTT Gaza yang juga dikenal dengan nama “Gaza Plan” diluncurkan dengan janji besar: membangun kembali Gaza pasca-perang dan menciptakan perdamaian jangka panjang di Timur Tengah. Namun, jika dicermati lebih dalam, rencana damai yang diinisiasi Amerika Serikat tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan semangat dua negara yang selama ini diperjuangkan Indonesia.
KTT Gaza yang juga dikenal dengan nama “Gaza Plan” diluncurkan dengan janji besar: membangun kembali Gaza pasca-perang dan menciptakan perdamaian jangka panjang di Timur Tengah. Namun, jika dicermati lebih dalam, rencana damai yang diinisiasi Amerika Serikat tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan semangat dua negara yang selama ini diperjuangkan Indonesia.
Rencana ini berfokus pada stabilisasi keamanan dan rekonstruksi fisik Gaza, bukan pada penyelesaian politik yang adil bagi rakyat Palestina. Dalam dokumen yang dibahas, disebutkan pembentukan lembaga baru bernama Board of Peace for Gaza—semacam dewan multinasional yang akan mengawasi transisi pemerintahan sementara di Gaza.
Namun, baik Hamas maupun Otoritas Palestina (PA) tidak memiliki peran signifikan dalam dewan tersebut. Dengan demikian, rencana ini sejatinya merupakan bentuk pengambilalihan kekuasaan dari tangan rakyat Palestina oleh pihak asing, termasuk negara-negara yang memiliki hubungan strategis dengan Israel. Gaza, dalam rancangan ini, akan dikelola oleh perwakilan Mesir, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan beberapa negara Arab moderat yang selama ini bersahabat dengan Tel Aviv.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa “Board of Peace” pada akhirnya akan menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan Israel, bukan representasi keinginan rakyat Palestina.
Pujian Trump dan Simbol Politik di Balik Diplomasi
Dalam pidato pembukaannya di konferensi tersebut, Donald Trump secara terbuka memuji Presiden Prabowo.
Dalam pidato pembukaannya di konferensi tersebut, Donald Trump secara terbuka memuji Presiden Prabowo.
“He’s a tough man, a great leader from Indonesia,” ujar Trump disambut tepuk tangan hadirin.
Sontak, pernyataan itu menjadi tajuk utama di berbagai media Indonesia. Bagi kalangan diplomatik, pujian Trump dianggap simbol pengakuan terhadap posisi Indonesia yang semakin diperhitungkan di panggung global.
Prabowo bahkan sempat terlihat berbincang hangat dengan Trump dan meminta kesempatan untuk bertemu Eric Trump, putra mantan Presiden AS itu. Momen tersebut dianggap sebagian pengamat sebagai langkah Prabowo memperluas jejaring internasional dan memperkuat diplomasi pribadi di tingkat global.
Namun di sisi lain, sanjungan Trump tidak serta-merta berarti dukungan terhadap visi Indonesia mengenai Palestina. Sebab, isi “Gaza Plan” yang diusung Washington justru bertolak belakang dengan komitmen Indonesia terhadap solusi dua negara yang berkeadilan.
Diplomasi Indonesia: Idealitas vs Realitas Geopolitik
Kehadiran Prabowo di Mesir sejatinya adalah upaya menjaga konsistensi Indonesia dalam memperjuangkan perdamaian global. Ia memandang partisipasi di forum tersebut sebagai langkah konkret memperkuat peran Indonesia dalam diplomasi dunia Islam.
Kehadiran Prabowo di Mesir sejatinya adalah upaya menjaga konsistensi Indonesia dalam memperjuangkan perdamaian global. Ia memandang partisipasi di forum tersebut sebagai langkah konkret memperkuat peran Indonesia dalam diplomasi dunia Islam.
Namun, dinamika forum tersebut memperlihatkan kenyataan pahit: Gaza Plan tidak dibangun di atas prinsip keadilan politik, melainkan atas kompromi strategis antara kekuatan besar dunia. Amerika Serikat berperan sebagai “pembawa perdamaian”, Mesir sebagai mediator kawasan, sementara Israel muncul sebagai pihak yang paling diuntungkan.
Dengan adanya rencana ini, Israel tidak lagi perlu bernegosiasi langsung dengan Hamas atau PA, karena seluruh urusan Gaza akan dikendalikan oleh dewan internasional di bawah pengawasan Washington dan sekutunya. Bantuan ekonomi mengalir, proyek rekonstruksi berjalan, dan gencatan senjata dipuji dunia. Namun di balik semua itu, tidak ada jaminan bagi kedaulatan rakyat Palestina.
Situasi ini menandakan bahwa “solusi satu negara” perlahan menggantikan konsep dua negara. Israel tetap mengontrol keamanan dan batas wilayah, sementara entitas Palestina hanya dibiarkan eksis secara administratif tanpa kedaulatan sejati.
Kritik terhadap Gaza Plan: Perdamaian Tanpa Keadilan
Banyak analis menilai bahwa “Gaza Plan” justru memperkuat struktur ketimpangan yang selama ini menimbulkan konflik.
Banyak analis menilai bahwa “Gaza Plan” justru memperkuat struktur ketimpangan yang selama ini menimbulkan konflik.
Perdamaian sejati, menurut mereka, tidak mungkin dicapai tanpa pengakuan terhadap hak politik dan kedaulatan rakyat Palestina.
“Gaza Plan menormalisasi status quo pasca-perang, tanpa memberi ruang bagi rakyat Gaza menentukan masa depannya,” tulis sejumlah pengamat dalam Middle East Policy Review.
Mereka mengingatkan bahwa perdamaian yang dibangun di atas kepentingan strategis semata hanyalah gencatan senjata temporer, bukan penyelesaian konflik sesungguhnya.
Bagi Indonesia, posisi ini menjadi tantangan serius.
Sebagai negara yang konsisten mendukung Palestina sejak era Presiden Soekarno, Indonesia diharapkan tidak hanya hadir secara simbolik, melainkan juga menyuarakan keadilan dan kedaulatan penuh bagi rakyat Palestina.
Sebagai negara yang konsisten mendukung Palestina sejak era Presiden Soekarno, Indonesia diharapkan tidak hanya hadir secara simbolik, melainkan juga menyuarakan keadilan dan kedaulatan penuh bagi rakyat Palestina.
Jika tidak, kehadiran Indonesia hanya akan dipandang sebagai legitimasi moral bagi proyek perdamaian yang timpang.
Prabowo dan Ujian Moral Politik Luar Negeri Indonesia
Kehadiran Presiden Prabowo di KTT Gaza membawa pesan simbolik kuat bahwa Indonesia siap menjadi pemain aktif dalam isu global. Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan bahwa politik luar negeri Indonesia tetap berpihak pada nilai moral dan kemanusiaan.
Kehadiran Presiden Prabowo di KTT Gaza membawa pesan simbolik kuat bahwa Indonesia siap menjadi pemain aktif dalam isu global. Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan bahwa politik luar negeri Indonesia tetap berpihak pada nilai moral dan kemanusiaan.
Pujian dari pemimpin dunia seperti Donald Trump memang menambah citra Prabowo sebagai sosok yang dihormati di tingkat internasional. Tetapi, politik luar negeri tidak bisa hanya dibangun di atas sanjungan, melainkan pada prinsip.
Kekuatan seorang pemimpin sejati justru diuji saat harus mempertahankan prinsip di tengah tekanan geopolitik besar. Dalam konteks Gaza, keberanian moral jauh lebih penting daripada gestur diplomatik.
Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara yang paling konsisten mendukung Palestina. Prinsip “menolak penjajahan dalam bentuk apa pun” yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar moral yang tidak boleh diabaikan, bahkan dalam realitas politik dunia yang kompleks.
Solusi Dua Negara yang Semakin Jauh
Selama tujuh dekade, dunia internasional sepakat bahwa solusi dua negara adalah jalan paling adil dalam menyelesaikan konflik Israel–Palestina. Namun, dengan ekspansi permukiman ilegal di Tepi Barat, fragmentasi politik di tubuh Palestina, dan absennya kemauan politik dari Israel, solusi itu kini semakin sulit diwujudkan.
Selama tujuh dekade, dunia internasional sepakat bahwa solusi dua negara adalah jalan paling adil dalam menyelesaikan konflik Israel–Palestina. Namun, dengan ekspansi permukiman ilegal di Tepi Barat, fragmentasi politik di tubuh Palestina, dan absennya kemauan politik dari Israel, solusi itu kini semakin sulit diwujudkan.
“Gaza Plan” yang disepakati dalam konferensi Mesir tersebut, secara tak langsung, mengubur harapan dua negara hidup berdampingan secara damai. Rakyat Palestina dibiarkan tanpa kedaulatan politik, dan Gaza berpotensi menjadi wilayah protektorat internasional tanpa kemerdekaan sejati.
Dalam konteks inilah, Prabowo menghadapi ujian berat sebagai pemimpin baru Indonesia.
Apakah ia mampu menjaga garis moral politik luar negeri Indonesia—sebagaimana diwariskan sejak era Soekarno—atau justru akan terjebak dalam diplomasi simbolik yang hanya menguntungkan kekuatan besar?
Apakah Perdamaian Gaza Menyesakkan?
Konferensi di Sharm El-Sheikh tampak megah dan penuh harapan. Namun di balik tepuk tangan dan pidato diplomatik, cita-cita kemerdekaan Palestina justru semakin menjauh.
Konferensi di Sharm El-Sheikh tampak megah dan penuh harapan. Namun di balik tepuk tangan dan pidato diplomatik, cita-cita kemerdekaan Palestina justru semakin menjauh.
Jika “Gaza Plan” hanya menjadi panggung pencitraan bagi para pemimpin dunia—Trump dengan agenda politiknya, el-Sisi dengan ambisi regionalnya, dan Prabowo dengan citra globalnya—maka yang dikorbankan bukan hanya keadilan, tetapi kedaulatan rakyat Palestina itu sendiri.
Perdamaian sejati tidak lahir dari ambisi pribadi, melainkan dari keberanian moral untuk memastikan bahwa rakyat Palestina menjadi subyek utama masa depannya sendiri, bukan sekadar latar belakang reputasi para pemimpin dunia.
Sejarah akan mencatat, apakah kehadiran Prabowo di Mesir menjadi tonggak baru diplomasi Indonesia yang bermartabat, atau sekadar bagian dari panggung besar politik global yang menyilaukan? Kita tunggu perkembangan selanjutnya!. (fntv)
Posting Komentar untuk "Prabowo di KTT Gaza: Antara Diplomasi Perdamaian dan Paradoks “Gaza Plan” yang Mengubur Solusi Dua Negara"