Stok Rudal Pencegat Israel & AS Menipis, Iran Gempur Tanpa Henti
Framing NewsTV - Konflik militer antara Israel dan Iran kian memanas, dan kini memasuki babak krusial: krisis logistik pertahanan. Setelah hanya empat hari pertempuran intensif, Israel dilaporkan mulai kehabisan stok rudal pencegat balistik. Amerika Serikat pun khawatir keterlibatan lebih jauh dalam konflik ini bisa menguras cadangan rudal pertahanan mereka sendiri secara drastis.
Peringatan itu disampaikan oleh seorang pejabat senior AS kepada Middle East Eye (MEE). Ia menyebut bahwa banyak pihak di Washington kini resah: jika AS melancarkan serangan langsung terhadap Iran, bukan tak mungkin Teheran akan membalas habis-habisan ke Israel. Akibatnya, cadangan rudal pertahanan udara global AS pun terancam terkuras ke tingkat yang “mengkhawatirkan”.
Sistem Pertahanan Israel Tertekan
Israel selama ini mengandalkan sistem pertahanan udara tiga lapis:
- Iron Dome, untuk menahan roket jarak pendek dan drone dari kelompok seperti Hamas dan Hizbullah.
- David’s Sling, untuk menghadapi roket dan sebagian rudal balistik.
- Arrow 2 dan Arrow 3, sistem paling canggih untuk menghadapi rudal balistik jarak jauh, bahkan yang hipersonik dan lintas atmosfer.
Dan Caldwell, mantan pejabat senior Pentagon di era Presiden Donald Trump, memperingatkan bahwa pencegat seperti Arrow dan Stunner (untuk David’s Sling) bukan hanya mahal, tapi juga tidak bisa diproduksi cepat dalam jumlah besar. “Saya berasumsi Israel sudah menimbun sebagian stok, tetapi mereka sudah menggunakannya banyak untuk menghadapi Houthi dan serangan sebelumnya dari Iran,” tulisnya di platform X.
Serangan Iran Terus Mengalir
Sejak 13 Juni, Iran telah meluncurkan 370 rudal balistik ke wilayah Israel, menurut Kantor Perdana Menteri Israel. Serangan ini memberikan tekanan besar pada sistem pertahanan udara negara tersebut.
Meski begitu, ada sedikit harapan dari sisi ofensif. Dalam empat hari pertempuran, Israel berhasil menguasai udara di atas wilayah Iran. Jet-jet tempur Israel bahkan dilaporkan beroperasi bebas di atas Teheran pada siang hari. Israel juga mengklaim telah menghancurkan sekitar sepertiga fasilitas peluncuran rudal Iran.
Namun, ketidakpastian tetap membayangi. Josh Paul, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS yang mengundurkan diri sebagai bentuk protes atas dukungan AS terhadap perang Israel di Gaza, menyebut bahwa Iran kemungkinan besar masih menyimpan banyak peluncur rudal. “Yang lebih menjadi masalah bukan berapa banyak rudal yang mereka miliki, tapi berapa banyak peluncur yang masih bisa digunakan,” ujarnya.
Dua pejabat AS yang diwawancarai MEE menyatakan bahwa Iran sejauh ini tampak menahan diri, sebagian agar AS tidak langsung terlibat dalam operasi ofensif bersama Israel. Namun, garis batas antara ‘tidak terlibat’ dan ‘ikut perang’ semakin kabur.
AS: Antara Bertahan dan Terlibat
Sinyal-sinyal keikutsertaan AS dalam konflik ini makin jelas. Meski belum secara resmi menyatakan perang terhadap Iran, berbagai sistem pertahanan AS sudah aktif melindungi Israel. Misalnya:
- Sistem THAAD (Terminal High-Altitude Area Defense) dilaporkan telah digunakan untuk menembak jatuh rudal Iran.
- Sistem Patriot dikerahkan di berbagai titik strategis Timur Tengah.
- Rudal SM-3, versi pertahanan udara berbasis laut, diluncurkan dari kapal perusak USS Arleigh Burke di Laut Mediterania.
Kini, kapal induk USS Nimitz dilaporkan sedang dalam perjalanan dari Laut China Selatan ke Timur Tengah untuk memperkuat armada AS. Sementara itu, USS Carl Vinson sudah berada di kawasan, siap terlibat lebih lanjut.
Jalan Menuju Krisis Global?
Konflik Israel-Iran yang sebelumnya bersifat regional kini mulai menyeret kekuatan global seperti Amerika Serikat. Ketika persediaan rudal pencegat kian menipis dan kemampuan produksi tak bisa mengejar kecepatan serangan, dunia menghadapi risiko perang panjang yang bisa melibatkan banyak negara.
Jika Israel benar-benar kehabisan pencegat dan AS dipaksa ikut serta secara langsung, bukan tak mungkin ketegangan ini menjalar ke kawasan lain—dari Teluk Persia, Yaman, hingga Eropa.
Krisis ini sekaligus membuka mata dunia: perang modern tak hanya soal senjata dan tentara, tapi juga soal logistik, produksi, dan kecepatan replenishment. Tanpa itu, bahkan negara dengan teknologi militer tercanggih pun bisa lumpuh di tengah jalan. (fntv)