Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilrek UHO 2025 Diduga Sarat Rekayasa: Menteri Tertipu, Calon Cacat Moral Menang?



Framing NewsTV, Kendari – Pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) periode 2025–2029 pada 16 Juni 2025 menyisakan kontroversi besar. Hasil akhir menunjukkan bahwa ARM, salah satu kandidat yang banyak dikritik karena diduga memiliki rekam jejak moral yang buruk, justru keluar sebagai pemenang. Namun, kemenangannya memunculkan berbagai spekulasi keras mengenai integritas proses pemilihan itu sendiri, yang diduga sarat dengan rekayasa politik, permainan senat, bahkan dugaan suap kepada kementerian melalui perantara Wakil Menteri.

Isu yang berkembang kian menguat setelah beredarnya kabar bahwa menteri yang memiliki hak suara sebesar 35% menjatuhkan pilihan kepada TS, padahal secara perhitungan matematis rasional, TS hanya didukung oleh empat suara senat. Sebuah langkah yang janggal dan memicu tanda tanya besar: mengapa calon dengan dukungan lemah bisa mendapat limpahan suara dari menteri?

Rekayasa Senat: Pilar Utama Kemenangan ARM?
Sumber dari kalangan internal kampus menyebutkan bahwa kemenangan ARM tak lepas dari permainan senat yang diduga direkayasa oleh MZF, salah satu tokoh berpengaruh di balik layar. Dugaan ini semakin kuat dengan mencuatnya nama-nama seperti ES dan H, dua anggota senat dari kubu ARM, yang sebelumnya membuat pernyataan dukungan kepada calon lain, yakni TS. Demikian pula dua anggota senat lainnya, NA dan S, juga dari kubu ARM, yang menyatakan dukungan kepada calon RSLN.

Namun, ketika pemilihan berlangsung, keempatnya yakni ES, H, NA dan S justru kembali ke barisan ARM. Perubahan sikap mendadak ini tak hanya membingungkan publik kampus, kementerian, TS dan RSLN, tetapi juga menguatkan dugaan bahwa dukungan awal hanyalah bagian dari strategi pengaburan atau kompromi politik terselubung. Dalam konteks ini, ARM justru tampil sebagai pemenang berkat kemungkinan desain politik yang rapi dan cermat sehingga mengalahkan TS yang notabene didukung penuh oleh Menteri.

Dugaan Suap ke Kementerian: Jalur Licin ARM Menuju Kursi Rektor?
Yang membuat situasi semakin keruh adalah adanya dugaan kuat praktik suap yang diarahkan kepada Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Menristekdikti) melalui jalur utusan resmi, yakni Wakil Menteri Bidang Riset dan Teknologi, Prof. Fauzan. Isu ini menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, mahasiswa, hingga pengamat pendidikan di tanah air.

Bagaimana bisa seorang calon dengan kekuatan dukungan senat hanya empat suara, bisa mendapatkan suara mutlak dari kementerian? Logika publik diuji ketika menteri yang memiliki kekuatan suara sebesar 35 persen justru memberikan dukungan kepada calon yang secara basis matematis kalah kuat dibandingkan calon lain. Para pengamat menilai, jika informasi ini benar, maka keputusan menteri berpotensi menjadi bentuk “penyesatan administratif” yang melanggar prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Salah satu akademisi yang enggan disebutkan namanya menyebut, “Jika benar suara kementerian jatuh pada TS, maka pertanyaannya bukan lagi ‘mengapa ARM menang’, karena ARM itu memang suaranya 32 dan 1 orang berangkat haji, jadi suaranya 31, tetapi pertanyaanya adalah ‘apa yang mendorong kementerian untuk mendukung TS yang hanya memiliki suara empat’?, kalau dihitung 35% dari suara senat sebanyak 26 ditambah 4 jumlahnya 30, ya kalah”

Cawe-Cawe 01 Sultra: Rekayasa, Kompromi, atau Skenario Terselubung?
Dugaan keterlibatan tokoh politik daerah juga mengemuka. Dalam hal ini, disebut-sebut terdapat campur tangan dari figur kuat yang dikenal dengan inisial 01 Sultra, yang diyakini turut ‘mengatur’ jalannya Pilrek UHO 2025. Nama ASR, MZF, dan ARM sering kali muncul dalam satu rangkaian narasi tentang rekayasa dan kompromi politik yang dibungkus rapi dalam pemilihan rektor ini.

Dugaan cawe-cawe 01 Sultra ini tidak berdiri sendiri. Banyak yang melihat adanya jejak manuver politik lokal yang memengaruhi dinamika pemilihan rektor di UHO, terutama sejak tahapan seleksi administrasi hingga pleno akhir. ASR, misalnya, disebut-sebut sebagai figur yang menjembatani komunikasi antara pihak kampus dan kekuatan-kekuatan di luar kampus, termasuk ke kementerian.

MZF sendiri dikenal sebagai tokoh senior di UHO yang punya pengaruh besar dalam membentuk peta dukungan di kalangan senat. Jika benar ARM menang karena desain dari ASR dan MZF, maka pemilihan rektor bukan lagi kontestasi gagasan dan integritas, tetapi ajang politik kekuasaan yang mempertaruhkan masa depan institusi akademik.

Namun ada kabar yang beredar bahwa ASR diduga juga merasa tertipu dengan TS dan MZF dalam hal dukungan anggota senat. Isu yang berkembang di kalangan kampus bahwa ASR dan Kementerian ditelah diyakinkan oleh TS bahwa suara dukungan sudah signifikan untuk menangkan pilrek, info ini membuat ASR dan Kementerian yakin sehingga memberikan dukungan penuh kepada TS. 

Melihat kondisi ini, MZF gerak cepat mengkonfirmasi ke ASR, jika ASR ikut cawe-cawe dalam Pilrek UHO, maka MZF memanfaatkan momen ini dan mempersilahkan ASR asal jangan memberikan dukungan ke RSLN. Jika ASR memberikan dukungan ke TS, maka MZF akan membantu ASR untuk TS. Namun kenyataannya, MZF mengelola anggota senat yang akan ke TS dan ke RSLN untuk berikan dukungan. Ternyata anggota-anggota senat tersebut hanya sebagai mata-mata untuk mengetahui kekuatan dukungan suara senat yang ke TS dan RSLN. 

Atas dukungan ASR ke TS, maka MZF melakukan kalkulasi bahwa ARM akan menang jika anggota senat sebanyak 31 solid dan memastikan jika Menteri menumpah 35% suara ke TS akan kalah karena hanya mendapat 30 suara dan RSLN 13 suara.    

Menteri Dibohongi? Publik Desak Evaluasi Serius Hasil Pilrek
Yang menjadi perhatian lebih serius adalah posisi Menteri Pendidikan yang seolah-olah dibohongi oleh desain politik ini. Jika menteri memang menjatuhkan pilihan kepada calon yang sejak awal punya peluang kecil dan juga memiliki rekam jejak moral yang dipertanyakan, maka bukan hanya kredibilitas pemilihan yang runtuh—tetapi juga reputasi kementerian secara nasional.

Salah seorang dosen senior yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa calon Rektor TS yang dimenangkan menteri, diduga juga punya rekam jejak moral yang tidak etis, dimana TS diduga pernah tersandung kasus pelecehan seksual di Jepang hingga UHO diberi sanksi oleh universitas di Jepang. Sanksi ini berdampak pada dosen di UHO sehingga tidak bisa melakukan studi di Jepang.

Selain itu, di media sosialpun sejumlah tagar seperti #UHORusak, #RektorCacatMoral, dan #PilrekRekayasa menjadi trending. Publik mendesak agar Kementerian melakukan audit terhadap proses pemilihan, serta memeriksa ulang latar belakang calon TS yang didukung Menteri dan Calon ARM yang terpilih, karena keduangnya diduga memiliki catatan moral yang tidak etis. Mahasiswa, dosen, bahkan alumni mulai menyuarakan perlunya transparansi serta akuntabilitas dari seluruh proses pemilihan rektor yang mereka anggap cacat secara moral maupun administratif.

Ironi Kampus Negeri: Akademisi Bungkam, Mahasiswa Bertanya?
Ironi terbesar dari Pilrek UHO 2025 adalah sikap bungkam mayoritas akademisi. Di saat mahasiswa dan publik mempertanyakan proses pemilihan, banyak tokoh kampus memilih diam. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah mereka takut, ikut bermain, atau memang telah kehilangan moralitas akademik?

Sementara itu, respon keras juga datang dari kalangan mahasiswa yang mulai bergerak menggalang aksi untuk menolak hasil Pilrek. Mereka menilai pemilihan tersebut bukan hanya tidak demokratis, tapi juga mencoreng nama baik UHO di mata publik nasional.

Mahasiswa mulai melakukan konsolidasi untuk menyampaikan mosi tidak percaya terhadap hasil Pilrek. Mereka menuntut pembentukan tim independen untuk mengusut dugaan kecurangan, serta meminta Menteri untuk meninjau ulang keputusan yang telah dibuat.

“Kalau kampus saja sudah disusupi praktik kotor seperti ini, bagaimana kami bisa percaya pada dunia pendidikan? Kami ingin rektor yang layak secara moral dan akademik, bukan hasil dari kompromi busuk, dan kami minta agar Menteri meninjau ulang hasil Pilrek dan menunjuk PLT Rektor untuk dilakukan pemilihan ulang” ujar seorang mahasiswa dengan tegas dan lantang yang tidak mau disebut namanya.

UHO di Persimpangan Jalan
Pemilihan Rektor UHO 2025 memperlihatkan potret buram demokrasi kampus yang digerogoti oleh kepentingan, kompromi, dan kemungkinan praktik tak sehat. Dugaan suap, rekayasa senat, hingga keterlibatan kekuatan politik lokal menjadikan institusi pendidikan ini kehilangan marwahnya sebagai benteng moral dan intelektual.

Jika tidak ada tindakan tegas dari kementerian dan semua pihak yang bertanggung jawab, bukan tidak mungkin masa depan UHO akan terperosok lebih dalam. Kampus yang semestinya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, justru dikuasai oleh permainan kekuasaan yang menodai nilai akademik itu sendiri.

Pilrek Sarat Maladministrasi dan Tipu-Tipu, Harus Diulang?
Dengan berbagai dugaan rekayasa dan intervensi yang muncul ke permukaan, banyak pihak mendesak agar pemilihan rektor UHO periode 2025–2029 diulang. Proses pemilihan yang berlangsung 16 Juni 2025 dianggap cacat hukum dan moral, serta sarat maladministrasi.

Beberapa elemen civitas akademika telah menyerukan agar Menteri menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) Rektor yang independen untuk mempersiapkan pemilihan ulang. Tujuannya adalah memastikan bahwa Pilrek selanjutnya bisa berjalan lebih bersih, transparan, dan bebas dari campur tangan politik maupun permainan elite kampus.

Sejumlah pakar pendidikan juga menilai bahwa Pilrek ulang adalah opsi paling masuk akal untuk memulihkan kredibilitas UHO. Tanpa langkah tegas dari kementerian, bukan tidak mungkin UHO akan terus terjerumus dalam praktik-praktik korup dan manipulatif yang membahayakan masa depan generasi akademisi. (fntv)

Posting Komentar untuk "Pilrek UHO 2025 Diduga Sarat Rekayasa: Menteri Tertipu, Calon Cacat Moral Menang?"