Rektorisasi Rasa Intrik: Skandal, Cawe-Cawe, dan Krisis Moral di Balik Pemilihan Rektor di Indonesia
Dari Universitas Halu Oleo hingga UPI, kampus-kampus negeri berubah menjadi arena perebutan kekuasaan. Akademisi terpecah, integritas terkoyak. Siapa yang menyelamatkan benteng terakhir pendidikan tinggi Indonesia?
Framing NewsTV, Kendari — Suatu pagi di kampus Universitas Halu Oleo (UHO), udara terasa lebih pengap dari biasanya. Bukan karena kabut atau panas tropis, melainkan karena atmosfir yang disesaki ketegangan.
Ini bukan cerita fiksi. Ini adalah gambaran nyata dari apa yang sedang terjadi di sejumlah universitas negeri di Indonesia pada tahun 2025. Pemilihan rektor yang seharusnya menjadi proses demokratis, transparan, dan akademis, kini berubah menjadi ajang intrik, permainan kuasa, dan dugaan rekayasa penuh taktik dan pelanggaran moral.
Tujuh universitas negeri menjadi contoh nyata: Universitas Halu Oleo, Universitas Negeri Makassar, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Lampung, Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Medan, dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Semuanya tengah berada dalam sorotan publik dan tekanan dari civitas akademika karena dugaan cawe-cawe rektor petahana, manipulasi senat, dan bahkan keterlibatan oknum di kementerian.
Universitas Halu Oleo (UHO): Kampus dalam Bayang-bayang Kandidat Memiliki Track Record Amoral
Di UHO, cerita menjadi semakin kelam, bukan hanya karena pertarungan gagasan atau visi akademik, tapi juga karena beredarnya isu-isu personal yang mengguncang kredibilitas salah satu calon rektor. Salah satu calon rektor yang lolos ke tiga besar dikabarkan memiliki track record amoral. Alih-alih disingkirkan dari pencalonan, ia justru mendapat restu dari rektor petahana. Sementara deretan nama yang penuh harap mendapat restu Rektor malah menelan pil pahit tidak mendapatkan restu.
Salah satu gosip panas yang paling banyak diperbincangkan adalah dugaan hubungan personal yang tidak wajar antara seorang calon rektor berinisial A dengan perempuan berinisial E, yang juga beraktivitas di lingkungan kampus UHO. Desas-desus yang berkembang bahkan menyebutkan bahwa dari hubungan tersebut telah lahir seorang anak, meskipun belum ada konfirmasi resmi dari pihak terkait.
Tak berhenti di situ, riwayat masa lalu sang calon juga ikut mencuat ke permukaan. Ia dikabarkan pernah menjalin hubungan emosional dengan seorang perempuan berinisial SS dari Universitas D, yang berada di Pulau Jawa. Keduanya diduga saling mengenal saat menjalani studi pascasarjana. Ironisnya, hubungan itu disebut-sebut sebagai biang kerok keretakan rumah tangga SS, yang saat itu telah bersuami. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa konflik dalam rumah tangga SS akibat kedekatan tersebut akhirnya berujung pada perceraian.
Seakan belum cukup, muncul pula isu lain yang menyeret nama sang calon. Ia diisukan kerap mengunjungi tempat hiburan malam (THM), sebuah kebiasaan yang dianggap kurang pantas bagi sosok yang mencalonkan diri sebagai pemimpin tertinggi di lingkungan akademik.
Meskipun berbagai informasi tersebut belum terverifikasi secara resmi, namun penyebarannya yang masif di kalangan civitas akademika dan masyarakat membuat nama sang calon kian menjadi perbincangan hangat. Banyak yang mempertanyakan integritas moral dan kelayakan etis sang calon untuk menempati posisi strategis sebagai rektor UHO.
Lebih dari itu, proses pembentukan senat yang seharusnya menjadi representasi demokrasi akademik malah diwarnai dugaan “kocok ulang” yang tidak transparan. Beberapa anggota senat baru diketahui berasal dari “lingkaran dekat” termasuk “sang ratu” rektor petahana. Bahkan, sejumlah nama senior yang kerap kritis terhadap kebijakan kampus justru tidak lagi masuk dalam daftar.
“Kami tahu siapa yang akan jadi sebelum proses dimulai. Skor bukan soal kualitas, tapi soal kesetiaan,” ungkap seorang anggota senat yang menolak disebutkan namanya.
Mahasiswa menggelar aksi, dosen saling mencurigai, dan diskusi tentang pelanggaran Rektor UHO bergema via bisik-bisik, terutama bahwa Rektor UHO Prof. Muhammad Zamrun tidak melaksanakan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri pada Pasal 6 bahwa Tahap penjaringan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 (lima) ayat (1) huruf a dilaksanakan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Pemimpin PTN yang sedang menjabat. Namun tahapan penjaringan pemilihan Rektor UHO baru dimulai tanggal 10 April 2025. Berdasarkan hal tersebut, kami menduga bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap permen karena masa jabatan Rektor berakhir tanggal 2 Juli 2025.
Selain itu, permasalahan terkait statuta UHO Tahun 2025 yang telah diundangkan oleh Kemenkumham RI sebagaimana Permendikti Saintek RI No 21 Tahun 2025, tidak pernah dibahas dalam rapat senat Universitas Halu Oleo. Walaupun Penyusunan Statuta adalah tugas dan tanggungjawab Rektor, namun sepantasnya sebagai Rektor haruslah melibatkan Senat Universitas dalam membahas Statuta sebelum diajukan di Kemendikti Saintek RI.
Akibat terbitnya Permendikti Saintek RI No 21 Tahun 2025 tentang Statuta Universitas Halu Oleo, maka berdampak pada perubahan secara masif keanggotaan Senat Universitas Halu Oleo. Sebagai Catatan Penting, anggota senat Universitas Halu Oleo telah dan akan mengalami 3 (tiga) kali perubahan, yakni; (1) SK Rektor No. 1271/UN29/2023 tentang penetapan anggota senat Universitas Halu Oleo periode 2023-2027 tanggal 28 Juli 2023 berjumlah 115 orang anggota senat; (2) SK Rektor No. 230/UN29/2025 tentang penetapan anggota senat Universitas Halu Oleo pengganti antar waktu (PAW) periode 2023-2027 tanggal 30 Januari 2025 berjumlah 121 orang anggota senat, dan (3) dengan berlakunya Statuta 2025, anggota senat telah dikocok ulang hingga tersisa 49 orang anggota senat yang kemudian ditetapkan oleh Rektor. Terkait pada Point (3) tersebut, maka Rektor telah menerbitkan Peraturan Rektor Universitas Halu Oleo nomor 1 Tahun 2025 tanggal 13 Maret 2025 tentang Senat Fakultas lingkup Universitas Halu Oleo dan Peraturan Senat Universitas Halu Oleo Nomor 1 Tahun 2025 tanggal 12 Maret 2025 tentang tata Cara Pemilihan Anggota Senat Universitas dalam Lingkup Universitas Halu Oleo, Dimana dalam pasal 5 (lima) ayat 1 (satu) menutup kesempatan Dosen untuk ikut berkompetisi dalam pemilihan anggota senat Tingkat jurusan/prodi,fakultas dan universitas.
Diduga bahwa Rektor Universitas Halu Oleo Prof. Dr. Muhammad Zamrun F., S.Si., M.Si., M.Sc menggunakan Statuta 2025 sebagai landasan pelaksanaan pemilihan Rektor agar dengan mudah mengatur/ mengintervensi/mengendalikan/menekan anggota senat. Dugaan keras maladmisnistrasi tersebut karena pemberlakuan Statuta 2025 yang terkesan pemberlakuannya dipaksakan ditengah proses pemilihan Rektor yang seharusnya sudah berproses pada bulan Februari 2025.
Selain itu, ditemukan dudaan pelanggaran dalam Peraturan Rektor UHO Nomor 1 tahun 2025 tentang Senat Fakultas dalam Lingkup UHO adalah melanggar STATUTA Nomor 21 tahun 2025 khususnya pasal 30 ayat 10, yang menegaskan bahwa: Tata cara pemilihan anggota Senat dari wakil Dosen setiap fakultas harus diatur dengan Peraturan Senat, bukan dengan Peraturan Rektor. Jadi menurut kami, ini adalah bentuk pelanggaran terhadap STATUTA, apalagi dalam konsideran Peraturan Rektor tersebut sama sekali tidak ada rujukan hasil rapat senat (ini lebih fatal lagi pelanggarannya). Oleh karena itu legal standing pemilihan senat di Fakultas atas dasar Peraturan Rektot adalah bentuk pelanggaran STATUTA yg sangat nyata.
Fakta lainnya yang tak kalah serius adalah diterbitkannya Peraturan Rektor UHO Nomor 1 Tahun 2025 yang menetapkan batas usia maksimal anggota senat perwakilan profesor sebesar 65 tahun, bertentangan secara frontal dengan ketentuan Statuta UHO Tahun 2025 (Permendikti Saintek No. 21/2025) dan Peraturan Senat UHO Nomor 1 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa usia maksimal anggota senat wakil dosen adalah 60 tahun. Penerbitan regulasi internal tersebut kami menilai merupakan tindakan yang tidak sah secara hukum (ultra vires) karena dilakukan tanpa kewenangan normatif yang sah dan bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Rektor melakukan rekayasa regulasi demi memenuhi kepentingan tertentu, dan membuka ruang terjadinya conflict of interest (COI) secara sistemik dalam struktur senat fakultas dan universitas.
Dengan begitu, Rektor UHO diduga menyalahgunakan kewenangan dengan melakukan tekanan, intervensi, dan intimidasi terhadap dekan, ketua program studi, hingga dosen, untuk memaksakan figur-figur tertentu sebagai anggota senat, demi membentuk konfigurasi senat yang berpihak padanya. Tindakan tersebut tidak hanya mengarah pada pelanggaran etika jabatan, tetapi juga berpotensi mengganggu tatanan hubungan sosial akademik, menciptakan konflik horizontal di kalangan dosen, serta mengoyak prinsip meritokrasi dan demokrasi kampus.
Rektor UHO juga diduga secara terang-terangan melakukan cawe-cawe dalam proses pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo dengan terlebih dahulu mengkondisikan anggota senat hasil intervensi pada pemilihan anggota senat Tingkat Prodi, Jurusan dan Fakultas untuk kemudian dijadikan sebagai basis suara untuk mengusung salah satu Calon Rektor yakni Prof. Armid. Atas kondisi tersebut, beberapa calon Rektor merasa dirugikan atas Tindakan Rektor tersebut karena menutup ruang bagi kami untuk bersaing secara sehat dan demokratis.
Tak kalah mengejutkan adalah para calon Rektor setelah ditetapkan sebagai Bakal Calon Rektor UHO Periode 2025-2029 tanggal 5 Mei 2025, mereka tidak diberi kesempatan melakukan sosialisasi visi-misi ke anggota-anggota senat dan seluruh sivitas akademika, karena rentang waktu antara penetapan calon, pemaparan visi misi dan program kerja dan pemilihan 3 besar calon Rektor hanya selisih 2 hari yakni tanggal 8 Mei 2025. Hal ini yang diklaim beberapa calon Rektor merasa dijebak karena dalam undangan yang mereka terima adalah undangan untuk pemaparan visi, misi dan program kerja di Auditorium Mokodompit Halu Oleo bukan undangan pemilihan. Namun faktanya proses pemilihan dilakukan pada hari yang sama dengan tempat berbeda dilakukan di ruang senat UHO lantai 4 dengan selisih waktu antara pemaparan visi misi-program kerja dan pemilihan kurang lebih 3 jam. Dalam rentang waktu tersebut, mereka menduga ada tekanan/intervensi Rektor terhadap anggota-anggota senat untuk diarahkan memilih salah satu calon yang diinginkan Rektor.
Atas dugaan pelanggaran dan cawe-cawe Rektor UHO, maka mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di Gedung KPK dan Kemenristekdikti meminta kepada Menteri Prof. Brian Yuliarto sebagai Menristekdikti untuk; Pertama, menghentikan dan mengevaluasi seluruh Tahapan Pemilihan Rektor UHO Periode 2025-2029; Kedua, memberi kesempatan kepada calon Rektor UHO Periode 2025-2029 untuk melakukan sosialisasi visi, misi dan program kerja secara maksimal kepada senat dan sivitas akademika UHO; Ketiga, melakukan Pemilihan Ulang 3 (tiga) besar Calon Rektor UHO Periode 2025-2029 yang telah dilaksanakan pada tanggal 8 April 2025 yang diduga dilakukan secara tidak transparan dan objektif, penuh intervensi/tekanan atau arahan Rektor; Keempat, Menonaktifkan Rektor UHO Periode 2021-2025 agar proses pemilihan UHO Periode 2025-2029 terhindar dari cawe-cawe dan intimidasi Rektor sehingga melahirkan Rektor dari proses yang demokratis dan memiliki integritas, demi transparansi dan objektifitas, tanpa adanya tekanan atau arahan yang memihak dari pihak manapun dalam Pemilihan Rektor UHO Periode 2025-2029. Para demonstran juga meminta agar mengambil alih pemilihan Rektor UHO Periode 2025-2029 dengan menunjuk Pelaksana Tugas (PLT) Rektor.
Universitas Negeri Makassar (UNM): Diwarnai Polemik, Dugaan Intervensi dan Ketertutupan Picu Protes
Proses pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM) untuk periode 2024–2028 ikut tercoreng kontroversi. Sejumlah civitas akademika menyoroti adanya dugaan pelanggaran prinsip transparansi, intervensi dari pihak eksternal, serta ketidaksesuaian antara pelaksanaan teknis dan aturan yang berlaku.
Salah satu isu yang mencuat dalam pemilihan rektor UNM adalah ketertutupan informasi selama tahapan seleksi berlangsung. Sejumlah dosen dan organisasi mahasiswa menyayangkan tidak adanya publikasi resmi terkait hasil penilaian bakal calon oleh panitia seleksi maupun pertimbangan Majelis Wali Amanat (MWA).
Kandidat-kandidat yang maju sebagai calon rektor dinilai tidak mendapatkan perlakuan yang setara dari panitia pemilihan. Ada kekhawatiran bahwa rekam jejak, visi-misi, serta dokumen penting lain yang seharusnya dibuka ke publik tidak disampaikan secara jelas, membuat sebagian besar civitas akademika kehilangan kepercayaan terhadap proses yang berjalan.
Lebih jauh, isu yang paling banyak dibicarakan adalah dugaan intervensi dari pihak luar kampus dalam proses pemilihan. Sejumlah laporan menyebutkan adanya tekanan politik yang diarahkan kepada anggota MWA untuk memilih kandidat tertentu. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi yang selama ini dijunjung tinggi.
Isu ini diperkuat dengan perubahan sikap beberapa anggota MWA yang sebelumnya mendukung kandidat tertentu, namun mendadak berbalik arah tanpa alasan yang dijelaskan secara terbuka. Perubahan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan di luar pertimbangan akademik yang ikut bermain.
Pemilihan rektor di UNM dilakukan dengan sistem pemungutan suara oleh MWA yang terdiri dari perwakilan dosen, pemerintah, dan unsur masyarakat. Namun, sistem ini juga menuai kritik karena bobot suara perwakilan Kemendikbud Ristek RI (yang mewakili pemerintah) mencapai 35 persen, yang berarti memiliki pengaruh besar dalam hasil akhir pemilihan.
Banyak pihak mempertanyakan: sejauh mana independensi universitas dalam menentukan pemimpinnya sendiri ketika suara pemerintah sangat dominan? Ketimpangan ini dinilai melemahkan prinsip kedaulatan akademik, apalagi jika tidak diimbangi dengan akuntabilitas proses seleksi.
Berbagai kelompok mahasiswa UNM telah melakukan aksi unjuk rasa sebagai bentuk kekecewaan atas proses pemilihan rektor yang dianggap tidak demokratis. Mereka menuntut agar proses tersebut diulang dengan transparansi penuh serta melibatkan publik kampus dalam pemantauan tahapan pemilihan.
Dari kalangan dosen, sejumlah akademisi yang tergabung dalam forum informal dosen UNM juga menyuarakan ketidakpuasan terhadap mekanisme penilaian yang dianggap tertutup dan bias. Mereka menyatakan bahwa proses ini justru mencederai integritas lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi teladan dalam demokrasi dan etika publik.
Dengan meningkatnya tekanan dari berbagai pihak, terbuka kemungkinan bahwa hasil pemilihan rektor UNM akan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Beberapa pengamat pendidikan menilai bahwa jika proses tidak memenuhi prinsip due process dan melanggar statuta universitas atau peraturan perundang-undangan, maka hasil pemilihan dapat dibatalkan secara hukum.
Langkah hukum ini, jika terjadi, akan menjadi preseden penting bagi kampus lain untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan tahapan pemilihan pimpinan perguruan tinggi.
Kasus yang terjadi di UNM bukanlah yang pertama. Sepanjang 2024–2025, berbagai universitas negeri di Indonesia menghadapi persoalan serupa: dari pemilihan rektor yang sarat konflik kepentingan, tekanan eksternal, hingga minimnya transparansi. Ini menunjukkan adanya krisis sistemik dalam tata kelola pemilihan pemimpin di lembaga pendidikan tinggi.
Jika dibiarkan, situasi ini dapat mengancam independensi akademik dan merusak budaya meritokrasi yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pengembangan institusi pendidikan.
Permasalahan dalam pemilihan rektor UNM memperlihatkan bahwa reformasi dalam sistem pemilihan rektor di Indonesia sudah sangat mendesak. Mekanisme yang transparan, partisipatif, dan bebas dari intervensi politik harus menjadi standar baru untuk memastikan bahwa universitas tetap menjadi benteng integritas, bukan alat kepentingan jangka pendek.
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed): Skor Gelap, Senat Bisu
Di Purwokerto,
Unsoed menghadapi gelombang protes dari mahasiswa dan dosen muda. Proses
pemilihan rektor dilakukan tertutup, tanpa pemaparan skor atau indikator
penilaian. Transparansi yang seharusnya menjadi roh utama justru diabaikan.
Kandidat dengan visi paling progresif dan rekam jejak riset terbaik bahkan tidak lolos. Alasannya? “Tidak cukup dukungan senat,” kata pihak panitia pemilihan.
Namun, mahasiswa dan publik curiga, karena dukungan senat juga diduga telah dikondisikan. Protes bermunculan, termasuk dari alumni yang menuntut keterlibatan publik dalam proses rektorisasi.
Berdasarkan hasil survei sebagaimana dikutip dalam cahunsoed.com yang
dilakukan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Rhizome Unsoed mengungkapkan bahwa
lebih dari 51% dari 392 responden mahasiswa tidak mengetahui bahwa pemilihan
rektor sedang berlangsung. Selain itu, sekitar 66% responden tidak mengetahui
jadwal pemilihan, dan 75% tidak mengetahui detail proses pemilihan tersebut.
Hal ini menunjukkan kurangnya sosialisasi dan
transparansi dari pihak universitas kepada mahasiswa, yang seharusnya menjadi
bagian integral dari komunitas akademik dan memiliki hak untuk mengetahui serta
terlibat dalam proses pemilihan pimpinan universitas.
Proses pemilihan rektor dilakukan melalui rapat senat
tertutup, yang hanya dihadiri oleh anggota senat universitas dan perwakilan
dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Meskipun
prosedur ini sesuai dengan peraturan yang berlaku, ketertutupan tersebut
menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas proses
pemilihan.
Kurangnya informasi yang tersedia untuk publik mengenai
kriteria penilaian, proses seleksi, dan pertimbangan dalam pemilihan calon
rektor dapat memicu spekulasi dan ketidakpercayaan terhadap hasil pemilihan.
Mahasiswa Unsoed memiliki harapan besar terhadap rektor
terpilih. Menurut survei yang sama, karakteristik yang diinginkan dari seorang
rektor meliputi kejujuran, integritas, kepedulian terhadap mahasiswa, dan
kemampuan untuk menyerap aspirasi mahasiswa.
Selain itu, mahasiswa juga menyoroti isu-isu penting yang
perlu menjadi perhatian rektor baru, seperti penanganan kasus kekerasan seksual
di kampus, mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan kurangnya respon terhadap
aspirasi mahasiswa.
Pemilihan rektor Unsoed periode 2022–2026 diikuti oleh
beberapa calon, dan akhirnya Prof. Dr. Ir. Akhmad Sodiq, M.Sc.Agr. terpilih
sebagai rektor setelah memperoleh suara terbanyak dalam pemungutan suara yang
dilakukan oleh senat universitas.
Meskipun proses ini berjalan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan, kurangnya partisipasi dan informasi kepada mahasiswa serta
ketertutupan proses pemilihan menimbulkan kekhawatiran mengenai representasi
dan legitimasi kepemimpinan yang terpilih.
Permasalahan dalam pemilihan rektor Unsoed mencerminkan
tantangan dalam mewujudkan tata kelola universitas yang transparan,
partisipatif, dan akuntabel. Untuk meningkatkan kepercayaan dan keterlibatan
seluruh civitas akademika, penting bagi universitas untuk memperbaiki mekanisme
komunikasi, meningkatkan transparansi proses pemilihan, dan memastikan bahwa
semua pihak, termasuk mahasiswa, memiliki akses dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses demokratisasi kampus.
Universitas Lampung (Unila): Luka Lama, Luka Baru
Unila, yang baru
saja pulih dari skandal suap pemilihan rektor oleh Karomani, kini kembali di
ambang krisis. Calon yang memiliki relasi dekat dengan mantan elit kampus
justru lolos ke tiga besar, meski kinerjanya dipertanyakan.
Sejumlah akademisi khawatir sejarah akan terulang. “Kami butuh pemimpin yang bersih, bukan reinkarnasi dari rezim lama,” kata salah satu guru besar Unila.
Yang membuat miris, publik berharap Unila menjadi simbol reformasi, namun yang muncul justru aroma kompromi dan tarik-menarik kepentingan.
Universitas Negeri Semarang (Unnes): Politik Transaksional Mencemari Kampus
Di Unnes, laporan
dari internal kampus menyebut adanya indikasi praktik “jual-beli suara” di
tingkat senat. Salah satu calon bahkan ditawari untuk “membeli” dukungan dengan
jaminan balas budi jabatan struktural jika terpilih.
Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa pemilihan rektor tidak lagi soal kualitas akademik, melainkan soal kemampuan bernegosiasi dan “bermain” di balik layar.
“Kalau seperti ini, kita sedang mencetak rektor politisi, bukan ilmuwan pemimpin,” ucap seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Medan (Unimed): Dinasti dan Senat Bayangan
Di Medan, proses
pemilihan rektor diwarnai isu “dinasti akademik”. Salah satu calon diketahui
merupakan kerabat dekat mantan pejabat kampus dan mendapat dukungan kuat dari
lingkaran lama.
Yang mengejutkan, anggota senat yang menyatakan keberatan justru diganti atau “tidak aktif” secara mendadak. Proses penilaian pun dilakukan tertutup, tanpa keterlibatan publik atau peninjauan eksternal.
“Di sini, yang berani bicara akan diasingkan. Ini bukan kampus, ini kerajaan,” ujar seorang akademisi yang meminta namanya disamarkan.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI): Transparansi Dianggap Ilusi, Gugatan PTUN Mengintai
Proses pemilihan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) periode 2025–2030 tengah diterpa badai kritik tajam. Sejumlah anggota Senat Akademik (SA) UPI menuding adanya pelanggaran serius terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam pemilihan pimpinan tertinggi perguruan tinggi negeri berbadan hukum tersebut.
Mereka menyayangkan sikap Majelis Wali Amanat (MWA) UPI yang dinilai tidak konsisten menjalankan peraturan internalnya sendiri, terutama Peraturan MWA UPI Nomor 1 Tahun 2025 yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam menetapkan calon rektor.
Anggota Senat Akademik dari Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Prof. Dr. Amung Ma’mun, secara terbuka mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, pemilihan yang seharusnya berlangsung terbuka justru dilakukan secara tertutup tanpa akuntabilitas yang jelas.
“Pasal 17 secara eksplisit mengatur bahwa penetapan calon rektor wajib mempertimbangkan hasil asesmen tim independen, rekam jejak akademik dan kepemimpinan, serta masukan dari anggota Senat Akademik. Tapi yang terjadi sebaliknya, publik dan anggota SA tidak diberi akses terhadap hasil penilaian tersebut,” ujarnya, Selasa (6/5/2025).
Prof. Amung, yang dikenal sebagai pakar kebijakan olahraga, menegaskan bahwa jabatan rektor adalah posisi strategis yang berdampak besar pada arah kebijakan pendidikan nasional. Maka dari itu, proses pemilihannya harus dapat dipertanggungjawabkan di ruang publik.
“Tagline seperti ‘values for value, full commitment, no conspiracy’ yang dikampanyekan MWA hanya slogan kosong. Tidak ada transparansi, tidak ada keterbukaan. Integritas seolah hanya berhenti di atas kertas,” kecamnya tegas.
Amung juga menyinggung soal minimnya informasi terkait proses asesmen yang konon melibatkan tim independen. Hingga saat ini, tidak ada kejelasan mengenai siapa saja yang duduk di tim tersebut dan bagaimana indikator penilaian digunakan.
Kritik senada disampaikan oleh Prof. Dr. Edi Suryadi dari Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB) UPI. Ia menyesalkan sikap diam MWA terhadap aspirasi sembilan anggota Senat Akademik yang sebelumnya telah menyampaikan keberatan secara resmi melalui audiensi.
“Kami datang dengan itikad baik, membawa aspirasi agar Peraturan MWA No. 1 Tahun 2025 ditinjau kembali. Tapi kami justru diabaikan. Tidak ada diskusi terbuka, tidak ada transparansi dalam proses. Hasil asesmen pun tidak dibuka ke publik,” kata Edi.
Bahkan, ia membuka kemungkinan bahwa proses pemilihan ini akan berakhir di jalur hukum. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) disebut menjadi opsi yang mulai dipertimbangkan oleh sejumlah pihak, termasuk bakal calon rektor yang merasa dirugikan.
“Setidaknya ada dua pelanggaran prinsipil. Pertama, sistem pemilihan dengan prinsip ‘one person three vote’ bertentangan langsung dengan Statuta UPI yang berlaku. Kedua, proses penetapan tiga calon rektor mengabaikan asas objektivitas, karena hasil penilaian tidak pernah dibuka,” ujarnya.
Dalam sidang tertutup yang digelar Senin (5/5/2025), MWA resmi menetapkan tiga nama sebagai calon rektor: Prof. Didi Sukyadi, Dr. Vanessa Gaffar, dan Dr. Yudi Kusmayadi. Ketua Panitia Pemilihan, Dr. Nu’man Abdulhakim, menyatakan bahwa proses tersebut telah melibatkan lembaga independen dan dilakukan secara objektif.
Namun, klaim tersebut belum cukup meyakinkan publik maupun komunitas akademik internal. Sampai hari ini, MWA belum membuka secara resmi hasil penilaian tim independen, rekam jejak akademik, maupun penjabaran kertas kerja dari masing-masing calon. Padahal, informasi tersebut menjadi dasar penilaian yang sangat krusial.
“Ketika keputusan dibuat tanpa kejelasan data dan informasi, maka wajar jika publik curiga. Apalagi ini bukan sekadar urusan administratif, tapi menyangkut masa depan institusi pendidikan tinggi yang menjadi panutan,” kata salah satu dosen UPI yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kasus ini menambah daftar panjang kontroversi pemilihan rektor di berbagai perguruan tinggi negeri sepanjang 2025. Tidak sedikit proses serupa yang digugat oleh civitas akademika karena dianggap tidak transparan, penuh intervensi, dan sarat konflik kepentingan.
Dalam konteks UPI, kampus yang memiliki reputasi nasional sebagai pusat pendidikan guru, kasus ini menjadi ironi tersendiri. Bagaimana mungkin lembaga yang mendidik calon pendidik justru memperlihatkan proses pemilihan pemimpin yang tidak mendidik secara etis?
Jika gugatan ke PTUN benar terjadi, maka ini akan menjadi ujian serius bagi integritas kelembagaan UPI. Proses hukum bisa mengungkap cacat prosedural dan membuka jalan bagi reformasi mekanisme pemilihan rektor secara menyeluruh di masa depan.
Kritik yang dilayangkan anggota SA UPI dan sejumlah akademisi seharusnya menjadi bahan refleksi bagi MWA dan seluruh pemangku kepentingan kampus. Pemilihan rektor bukan sekadar agenda rutin lima tahunan, tapi momentum untuk menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, integritas, dan meritokrasi.
Tanpa keterbukaan dan kejujuran, kredibilitas institusi akan tergerus. Dan ketika kepercayaan publik memudar, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nama baik kampus, tetapi juga masa depan generasi yang dididik di dalamnya.
Di Balik Semua Itu: Bayangan Makelar Jabatan di Kemenristekdikti
Yang lebih
mengejutkan, sejumlah laporan dari berbagai kampus menyebut adanya peran
“makelar jabatan” yang beroperasi dari dalam atau sekitar lingkaran
Kemenristekdikti. Mereka disebut-sebut bisa membantu calon tertentu melenggang
mulus ke tahap akhir dengan syarat komitmen dan “kontribusi”.
Isu ini mencuat karena kesamaan pola di banyak kampus: calon unggul didepak, senat dikondisikan, dan pemenang ditentukan bukan oleh publik kampus, tapi oleh permainan elite.
Jika ini benar adanya, maka pendidikan tinggi Indonesia sedang berada di ambang jurang kehancuran moral.
Kampus Tak Lagi Asyik: Kecurigaan Jadi Budaya
Kondisi ini
membawa dampak serius. Budaya akademik terganggu, kolaborasi antardosen
merosot, dan kampus menjadi ladang pertarungan politik mini. Peta kekuasaan
internal kampus terbentuk, menjadikan ruang-ruang diskusi sebagai ajang
propaganda.
Agenda riset nasional, program pengembangan SDM, dan kerja sama internasional terabaikan. Kampus yang semestinya menjadi pusat solusi justru menjadi sumber masalah.
Harapan Terakhir: Mampukah Prof. Brian Yuliarto Membenahi?
Dengan pelantikan
Prof. Brian Yuliarto sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi
(Mendiktisaintek), harapan publik kini menggantung. Sebagai akademisi sejati
dari ITB, ia dikenal bersih dan progresif.
Namun, apakah ia mampu membongkar tumpukan masalah struktural yang sudah mengakar? Atau justru akan menjadi korban politik berikutnya?
Jika tidak segera ada reformasi menyeluruh dalam tata kelola rektorisasi, maka bukan hanya reputasi kampus yang hancur, melainkan masa depan pendidikan bangsa ini. ***)