Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KPPA Sultra Laporkan Calon Rektor UHO ke Ombudsman: Dugaan Skandal Moral



Framing NewsTV, Kendari — Suhu politik kampus Universitas Halu Oleo (UHO) mulai menghangat jelang pemilihan rektor periode 2025–2029. Sorotan kini tertuju pada salah satu calon kuat, Prof. Armid S. Si., M.Si., M.Sc., D.Sc., yang tengah menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama UHO. Ia dilaporkan oleh Koalisi Pemerhati Perempuan dan Anak Sulawesi Tenggara (KPPA Sultra) ke Ombudsman RI Perwakilan Sultra atas dugaan pelanggaran integritas moral dan etika akademik.

Laporan ini bukan sekadar dinamika biasa dalam pemilihan pimpinan kampus. Isinya memuat tudingan yang cukup serius dan menyangkut reputasi serta nilai dasar kepemimpinan akademik. KPPA Sultra menuding Prof. Armid menjalin hubungan tidak sah dengan dua perempuan, yakni mantan stafnya yang berinisial R saat ia menjabat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) UHO, serta seorang dosen dari Universitas Diponegoro berinisial SS.

Dugaan ini mencuat ke publik setelah beredarnya sebuah video di TikTok dari akun bernama @TieSaranani yang secara eksplisit menyebut keterlibatan Prof. Armid dalam hubungan yang dinilai tak patut bagi seorang akademisi, terlebih lagi seorang calon pemimpin universitas.

Ketua KPPA Sultra, Dahlia, menyampaikan bahwa laporan ini dilayangkan bukan atas dasar kebencian pribadi atau kepentingan politik tertentu, melainkan atas dasar kepedulian terhadap masa depan dan nilai-nilai moral universitas.

“Universitas bukan hanya tempat untuk belajar dan meneliti. Ia adalah benteng nilai, etika, dan moralitas. Jika dari awal pemilihan sudah diwarnai oleh dugaan pelanggaran integritas, maka kita tengah mempertaruhkan arah moral dari institusi ini,” ujar Dahlia, Sabtu (24/05).

Menurutnya, UHO sebagai institusi pendidikan tinggi wajib dipimpin oleh figur yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki rekam jejak pribadi yang bersih dan terpuji.

 “Pemimpin di dunia akademik harus menjadi panutan. Jika seorang calon rektor memiliki catatan dugaan pelanggaran moral, maka sangat disayangkan jika ia tetap melaju dalam proses pemilihan,” tegasnya.

Laporan KPPA Sultra tidak semata menyentuh isu moralitas pribadi, tetapi juga mempertanyakan keabsahan administratif pencalonan Prof. Armid. Dalam syarat administrasi pencalonan rektor UHO periode 2025–2029, dinyatakan bahwa setiap calon harus menyatakan tidak pernah melakukan pelanggaran integritas akademik dan moral. Oleh karena itu, KPPA menilai bahwa dugaan tersebut bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan sudah menyentuh pada ranah administratif dan etik yang bisa menggugurkan pencalonan.

“Ini bukan urusan rumah tangga atau ranah privat semata, karena menyangkut integritas lembaga. Jika seseorang melanggar komitmen etik yang ditetapkan oleh institusi, maka tentu itu harus diproses secara objektif,” tambah Dahlia.

Dalam laporan resmi yang diajukan ke Ombudsman, KPPA menyertakan dokumen-dokumen pendukung yang diyakini cukup untuk menjadi dasar awal penyelidikan. Mereka juga menyatakan kesiapannya untuk memberikan keterangan tambahan apabila dibutuhkan dalam proses investigasi.

Laporan KPPA Sultra telah diterima secara resmi oleh Ombudsman RI Perwakilan Sultra pada tanggal 21 Mei 2025. Hal ini dibuktikan dengan tanda terima dokumen yang ditandatangani oleh staf Ombudsman bernama Andal. Pihak KPPA berharap agar Ombudsman segera menindaklanjuti laporan ini sesuai kewenangannya dalam pengawasan pelayanan publik, termasuk dalam konteks pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri.

“Kami percaya bahwa Ombudsman akan bekerja secara profesional dan imparsial. Jika memang ditemukan bukti pelanggaran, kami berharap ada ketegasan untuk mendiskualifikasi calon yang bersangkutan,” ujar Dahlia.

KPPA juga menekankan pentingnya menjaga kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi. Mereka menilai bahwa pemilihan rektor bukan hanya proses administratif, tetapi juga simbol dari arah dan kualitas kepemimpinan di masa depan.

Kasus ini menambah daftar panjang dinamika pemilihan rektor di berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang kerap kali diwarnai oleh berbagai polemik, mulai dari intervensi politik hingga dugaan pelanggaran etik. Di UHO sendiri, laporan terhadap Prof. Armid menjadi preseden penting untuk menegaskan bahwa moralitas dan integritas tidak bisa dikesampingkan dalam proses pemilihan pemimpin akademik.

“Pemilihan rektor bukan hanya soal suara terbanyak atau prestasi akademik semata, tapi juga soal kelayakan moral. Ini penting untuk menjamin bahwa kampus tetap menjadi ruang yang sehat secara nilai,” kata Dahlia.

KPPA berharap agar laporan ini menjadi momen introspeksi bagi seluruh civitas akademika UHO untuk lebih kritis dan objektif dalam menilai figur calon pemimpin kampus. Menurut mereka, kampus harus bersih dari figur-figur yang memiliki dugaan rekam jejak yang mencederai prinsip-prinsip moral dan etika.

Tidak berhenti pada laporan ke Ombudsman, KPPA menyatakan akan terus mengawal proses ini hingga tuntas. Mereka juga membuka diri untuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang memiliki komitmen serupa dalam menjaga integritas dunia pendidikan.

“Kami akan terus bersuara, karena ini bukan hanya soal satu nama, tapi soal arah moral universitas. Kami ingin para mahasiswa, dosen, dan seluruh elemen kampus tahu bahwa mereka berhak dipimpin oleh orang yang bersih dan beretika,” tandas Dahlia.

Mereka juga menyerukan agar masyarakat sipil, terutama kelompok perempuan dan pegiat pendidikan, tidak ragu untuk melaporkan berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilihan pejabat publik di lingkup pendidikan.

Laporan yang dilayangkan KPPA Sultra terhadap Prof. Armid menjadi refleksi bahwa masyarakat kini semakin berani dan sadar akan pentingnya akuntabilitas moral dalam kepemimpinan. Pemimpin di dunia pendidikan bukan hanya dituntut pintar dan punya gelar, tetapi juga harus menjadi simbol nilai dan keteladanan.

Dengan semakin terbukanya ruang demokrasi dan partisipasi publik, setiap proses pemilihan—termasuk di kampus—dituntut untuk berjalan secara transparan dan bebas dari bayang-bayang pelanggaran. UHO kini menghadapi ujian, bukan hanya dalam memilih rektor yang tepat, tapi juga dalam membuktikan bahwa integritas akademik tetap menjadi fondasi utama. (***)