KETIKA REKTOR UHO BERMAIN KUASA: Membongkar Skandal MZF dalam Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur Prestasi (SNBP) UHO Tahun 2025
Dalam
dunia akademik, jabatan Rektor seharusnya menjadi simbol integritas, akal
sehat, dan tanggung jawab moral terhadap masa depan bangsa. Namun, apa jadinya
jika posisi tersebut justru digunakan sebagai alat pemuas ambisi keluarga,
tempat berlindung bagi praktik nepotisme, dan kendaraan untuk mengintimidasi
institusi pendidikan menengah?
Inilah
ironi paling getir dari skandal dugaan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan
Rektor Universitas Halu Oleo (UHO), Muhammad Zamrun Firihu (MZF). Berdasarkan
data dan bukti investigatif yang beredar, MZF diduga kuat memaksa pihak SMA
Negeri 1 Raha untuk menyisipkan nama keponakannya sebagai peserta jalur SNBP ke
Program Studi Pendidikan Dokter di UHO. Permintaan tersebut ditolak oleh kepala
sekolah dengan alasan objektif, “siswa bersangkutan tidak memenuhi standar
prestasi akademik” (peringkatnya 105).
Apa
respon sang rektor? Bukan dialog, bukan klarifikasi, tapi justru tindakan
sewenang-wenang yang mencabut kuota siswa pada program studi pendidikan dokter,
farmasi, kesmas dan beberapa prodi lainnya dari sekolah itu. Ini bukan saja
tindakan destruktif terhadap masa depan siswa dan harapan orangtua, tapi juga
bentuk pelecehan terhadap prinsip meritokrasi yang menjadi pilar pendidikan
nasional.
Lebih
memprihatinkan lagi, diduga kuat pernyataan dari saudara kandung rektor yang
menyebutkan, “Jika anak saya tidak masuk, lebih baik tidak ada yang lulus,”
menjadi bukti bahwa relasi kekeluargaan telah menggantikan akuntabilitas
publik. Kata-kata itu mencerminkan egoisme kekuasaan yang berbahaya dan
bertentangan dengan prinsip etika publik.
Tindakan
seperti ini secara terang-terangan melanggar:
· Pasal 2 huruf f Permendikbudristek No. 48 Tahun
2022, yang
mewajibkan seluruh proses seleksi mahasiswa baru bebas dari konflik
kepentingan, kolusi, dan nepotisme.
· Pasal 5 dan 6: Menetapkan dasar-dasar kuota
sekolah dan sistem seleksi berbasis prestasi akademik.
· Pasal 421 KUHP, yang mengancam pejabat yang
menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang melakukan atau tidak
melakukan sesuatu di luar kewenangannya.
· Panduan Resmi SNPMB 2024 oleh Balai Pengelolaan
Pengujian Pendidikan (BP3); 1) Mengatur secara teknis tentang
persyaratan siswa eligible SNBP, termasuk perhitungan kuota berdasarkan
akreditasi sekolah dan ranking siswa di sekolah asal; 2) Tidak ada ruang untuk
intervensi eksternal atau permintaan khusus oleh pejabat atau pihak luar.
· Standar Etika Akademik & Prinsip Good University
Governance (GUG)
· Laporan Ombudsman RI & Yudisial; 1) Ombudsman
RI secara umum telah beberapa kali menemukan kasus serupa dalam rekrutmen ASN
dan penerimaan mahasiswa yang melibatkan maladministrasi, intervensi kekuasaan,
dan penyalahgunaan jabatan; 2) Prinsip umum maladministrasi meliputi:
penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan perilaku tidak patut.
Lebih
dari sekadar pelanggaran administratif, ini adalah bentuk kejahatan moral dan
struktural dalam sistem pendidikan tinggi. Jika dibiarkan, maka akan muncul
preseden buruk, bahwa jabatan bisa menjadi tameng bagi kepentingan pribadi, bahwa
siapa pun yang dekat dengan kekuasaan bisa melompati prosedur, bahkan merusak
masa depan anak-anak lain yang berprestasi.
Kita
harus bersuara lebih keras dan wajib mengawal kasus publik seperti ini. Kasian
anak-anak sekolah harus dikorbankan cita-citanya dan harapan orangtua
diputuskan. Sebab diam dalam kondisi seperti ini bukanlah netralitas, tapi
pembiaran terhadap ketidakadilan. Maka rekomendasi hukum dan kebijakan yang
seharusnya dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan etik dan pemberhentian sementara Muhammad
Zamrun Firihu sebagai Rektor UHO oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi RI,
selama proses investigasi berlangsung.
2. Audit menyeluruh oleh Ombudsman RI dan
Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek, terhadap seluruh proses SNBP di UHO.
3. Meminta kepada POLDA SULTRA untuk
menindaklanjuti laporan kepolisian dari masyarakat sipil berupa pemeriksaan
pidana yang dilakukan Rektor UHO terhadap dugaan kuat terdapat unsur pemaksaan
kehendak, gratifikasi, atau penyalahgunaan jabatan.
4. Komisi X DPR RI dan atau DPRD Provinsi Sultra
melakukan Audiensi dan menggelar RDP dengan memanggil Rektor UHO, Kadis
Pendidikan Provinsi, Kepala Sekolah (sebagai pihak yang dirugikan secara
kelembagaan)
5. Class Action oleh siswa dan orangtua sebagai
bentuk perlawanan sipil terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan hak
anak atas pendidikan.
Pendidikan
seharusnya menjadi ruang suci yang menumbuhkan nilai kejujuran, bukan tempat
berkembangnya budaya balas dendam, intimidasi, atau penyalahgunaan jabatan.
Jika Rektor sebagai simbol akademia justru merusak fondasi itu, maka rakyat
punya kewajiban moral untuk menegur, menuntut, dan jika perlu menumbangkan
kekuasaan yang korup di balik topeng akademiknya (toga).***)