RUU KUHAP Telah Disahkan, Koalisi Sipil Soroti 9 Masalah Serius
Jakarta, Framing NewsTV - Rancangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memasuki tahap final disahkan menjadi undang-undang baru. Setelah melalui pembicaraan tingkat I antara DPR dan pemerintah, regulasi ini kini dibawa ke rapat paripurna yang dijadwalkan berlangsung pada Selasa (18/11). Proses legislasi yang berlangsung cepat ini memunculkan berbagai pertanyaan mengenai urgensi, arah perubahan, serta dampaknya terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.
Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurizal, memastikan bahwa pembahasan tingkat pertama telah rampung. “Kan sudah tingkat satu. Udah jadi,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/11). Meski demikian, pernyataan tersebut justru memicu perdebatan lebih luas karena dianggap tidak menjelaskan secara substantif kesiapan materi undang-undang untuk disahkan dalam waktu dekat.
Di tengah proses pengesahan yang dipercepat, kritik keras muncul dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Mereka menilai bahwa proses pembahasan RUU KUHAP penuh dengan persoalan formil dan substansi yang berpotensi melemahkan perlindungan hak warga negara. Koalisi ini juga mengungkapkan bahwa sejumlah mekanisme dalam RUU KUHAP justru dapat membuka ruang penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.
Wakil Ketua YLBHI, Arief Maulana, menegaskan bahwa koalisinya menemukan indikasi manipulasi suara publik dalam proses legislasi. Menurutnya, sejumlah masukan masyarakat sipil dicatut, dipelintir, atau diklaim secara tidak akurat oleh pihak tertentu untuk mengesankan adanya dukungan publik. “Kami mengingatkan kepada DPR RI dan juga pemerintah untuk berhenti melakukan praktik manipulasi partisipasi warga negara… mengatasnamakan masukan warga, padahal tidak demikian adanya,” tegasnya saat konferensi pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (16/11).
Arief menilai tindakan ini berbahaya bagi demokrasi dan transparansi legislasi karena menurunkan kepercayaan publik terhadap proses penyusunan undang-undang. Ia menekankan bahwa pemerintah dan DPR memiliki tanggung jawab memastikan bahwa RUU KUHAP disusun untuk melindungi hak rakyat, bukan melindungi kepentingan kekuasaan atau institusi hukum tertentu.
Selain persoalan partisipasi publik, Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti masalah formil dalam penyusunan RUU KUHAP. Minimnya akses informasi serta tidak adanya ruang masukan yang memadai disebut memperburuk kualitas penyusunan regulasi. “KUHAP ini sangat bermasalah dari sisi formil… bagaimana pemerintah dan DPR mengakomodir hak masyarakat untuk memberi masukan dan akses informasi,” ujarnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan sembilan catatan kritis terkait pasal-pasal dalam RKUHAP, khususnya yang menyangkut penanganan tindak pidana korupsi. Berikut penjelasan lengkapnya:
1. Pertentangan Norma Peralihan
Pasal 329 dan 330 RKUHAP memakai asas lex posterior derogat legi priori, yang berpotensi menggeser UU KPK dan UU Tipikor sebagai lex specialis. Hal ini dikhawatirkan melemahkan kekhususan pemberantasan korupsi dan menyulitkan KPK dalam menjalankan mandat undang-undang.
2. Pembatasan Penyelesaian Perkara oleh KPK
Pasal 327 membatasi KPK hanya menggunakan KUHAP 1981 dalam perkara yang sedang berjalan, padahal KPK memiliki hukum acara khusus. Pembatasan ini dianggap menghambat konsistensi penanganan kasus korupsi.
3. Penyempitan Definisi Penyelidikan
Definisi penyelidikan yang baru tidak sejalan dengan kebutuhan KPK, yang sejak awal membutuhkan bukti permulaan yang cukup. Hal ini berpotensi memperlambat proses pembuktian dan mengganggu efektivitas OTT.
4. Pembatasan Upaya Paksa & Koordinasi Birokratis
Pembatasan upaya paksa hanya untuk tersangka/terdakwa membuka celah bagi saksi penting untuk menghindar. Ditambah lagi, kewajiban koordinasi dengan Polri dalam berbagai tahap dianggap mengancam independensi KPK.
5. Pelemahan Mekanisme Penyadapan
Penyadapan hanya diperbolehkan di tahap penyidikan. Padahal KPK sering melakukan penyadapan sejak penyelidikan untuk mengungkap dugaan korupsi secara efektif, khususnya dalam OTT.
6. Potensi Penundaan Melalui Praperadilan
Pasal 154 melarang dimulainya sidang pokok perkara sebelum praperadilan selesai. Hal ini berpotensi dimanfaatkan tersangka untuk mengulur waktu dan menghambat proses peradilan.
7. Ketidakjelasan Kewenangan Perkara Koneksitas
RKUHAP belum mengakomodasi putusan MK soal kewenangan KPK menangani perkara yang melibatkan militer. Ketidakjelasan ini bisa menimbulkan kekosongan hukum dalam kasus korupsi yang melibatkan sipil dan militer.
8. Tumpang Tindih Perlindungan Saksi dan Korban
Menghilangkan peran KPK dalam perlindungan saksi, dan hanya mengakui LPSK sebagai lembaga resmi, dapat menimbulkan hambatan birokrasi serta keterlambatan dalam penanganan kasus korupsi.
9. Ancaman terhadap Independensi Penyidikan dan Penuntutan
Pasal 8 ayat (3) mewajibkan penyerahan berkas perkara melalui penyidik Polri tanpa pengecualian. Koalisi menilai aturan ini dapat membuka celah intervensi serta melemahkan independensi KPK dalam menangani kasus besar.
Tuntutan Koalisi: Cabut Draf, Perbaiki, dan Bahas Ulang
Melihat banyaknya persoalan formil dan substansi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil menuntut Presiden untuk menarik draf RUU KUHAP yang diajukan per 13 November 2025. Mereka meminta agar pembahasan di tingkat II dihentikan dan draf diperbaiki menyeluruh.
Koalisi juga meminta agar Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan pemberlakuan KUHP baru sebagai dalih mempercepat pengesahan RUU KUHAP. Menurut mereka, percepatan tanpa evaluasi justru berpotensi menghasilkan regulasi yang merugikan masyarakat luas.
Masyarakat Sipil mendesak agar pembahasan ulang dilakukan dengan mengutamakan prinsip-prinsip perlindungan hak warga negara serta melibatkan publik melalui proses legislasi yang transparan dan akuntabel. (***)

Posting Komentar untuk "RUU KUHAP Telah Disahkan, Koalisi Sipil Soroti 9 Masalah Serius"