Sandri Rumanama: Putusan MK Soal Larangan Polisi Aktif di Jabatan Sipil Dinilai Inkonstitusional dan Kontraproduktif
Jakarta, Framing NewsTV - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi pusat perhatian publik usai mengeluarkan putusan yang dinilai sarat muatan politik dan bertentangan dengan semangat reformasi. Putusan tersebut, yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil, menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari Direktur Haidar Alwi Institut sekaligus Wakil Ketua Umum PB SEMMI, Sandri Rumanama.
Dalam keterangannya, Sandri menilai bahwa keputusan MK tersebut merupakan langkah inkonstitusional dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menegaskan, putusan itu melemahkan peran strategis kepolisian yang selama ini dikenal sebagai agen sipil bersenjata dalam menjaga keamanan, ketertiban, serta pelayanan publik di tengah masyarakat.
Menurut Sandri, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia masih menjadi dasar hukum yang sah dan berlaku. Karena itu, ia menilai MK tidak memiliki legitimasi eksekutorial yang cukup kuat untuk mengubah atau membatasi peran kepolisian di luar ketentuan undang-undang tersebut. "Putusan ini muncul di waktu yang tidak tepat, saat pemerintah sedang memperkuat profesionalisme dan akuntabilitas Polri melalui pembentukan Tim Reformasi Polri. MK seolah justru melawan arus reformasi," ujarnya.
Sandri mengingatkan bahwa keputusan ini muncul ketika situasi sosial, politik, dan keamanan nasional tengah menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Dalam kondisi seperti itu, negara justru membutuhkan aparatur sipil yang disiplin, profesional, dan memahami sistem pemerintahan secara menyeluruh. “Polisi yang memahami birokrasi dan aspek administratif pemerintahan seharusnya diberi ruang untuk berperan dalam jabatan sipil. Keamanan dan pelayanan publik kini saling berkaitan erat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sandri menjelaskan bahwa Polri merupakan bagian integral dari elemen masyarakat sipil, bukan lembaga militeristik. Sejak reformasi 1998, Polri telah menjadi organ pemerintahan sipil yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat, memberikan pelayanan publik, serta menegakkan hukum dengan cara-cara yang demokratis. Oleh karena itu, kehadiran anggota Polri dalam jabatan sipil seharusnya dipandang sebagai bagian dari penguatan tata kelola pemerintahan yang modern dan responsif.
Ia juga menilai bahwa putusan MK justru menciptakan jarak antara Polri dan masyarakat sipil, padahal reformasi telah menegaskan integrasi keduanya dalam sistem demokrasi Indonesia. “Kalau polisi tidak boleh memegang jabatan sipil, bagaimana bisa memastikan kebijakan publik dijalankan dengan tertib dan efisien? Dalam banyak sektor, keterlibatan Polri justru dibutuhkan agar koordinasi antarinstansi berjalan efektif,” tambah Sandri.
Kritik terhadap putusan MK ini juga mendapat perhatian dari sejumlah pengamat hukum dan pemerintahan. Banyak pihak menilai bahwa MK tidak seharusnya mengeluarkan keputusan yang berpotensi menimbulkan dualisme tafsir terhadap status Polri sebagai lembaga sipil. Dalam konteks hukum, Polri berbeda dengan TNI yang bersifat militer dan memiliki larangan konstitusional untuk menduduki jabatan sipil aktif. Namun, Polri justru diarahkan menjadi lembaga sipil sejak reformasi demi menjembatani kepentingan keamanan dan masyarakat.
Sementara itu, pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk langsung oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah berkomitmen untuk memperkuat tata kelola dan profesionalisme institusi kepolisian. Komisi ini diharapkan mampu memperbaiki manajemen internal, meningkatkan transparansi, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap Polri. Dalam konteks ini, putusan MK dianggap tidak sejalan dengan arah kebijakan pemerintah yang ingin memperkuat sinergi antar-lembaga negara.
Sandri menilai, putusan MK berpotensi menimbulkan kekosongan peran dalam sektor-sektor pemerintahan tertentu, terutama yang memerlukan pengalaman lapangan serta keahlian manajerial aparat kepolisian. Misalnya, dalam bidang keamanan transportasi, penanggulangan bencana, dan koordinasi keamanan daerah terpadu, Polri selama ini berperan penting. Pembatasan peran tersebut bisa berdampak negatif terhadap efektivitas birokrasi nasional.
Selain itu, Sandri mengingatkan agar MK tidak terjebak dalam politik simbolik yang justru menghambat agenda reformasi institusional. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara lembaga yudikatif, eksekutif, dan institusi penegak hukum agar sistem pemerintahan Indonesia tidak berjalan secara terfragmentasi. “Jangan sampai keputusan ini dimaknai sebagai langkah mundur. Demokrasi kita seharusnya mendorong keterlibatan semua elemen bangsa, termasuk aparat kepolisian, dalam memperkuat pelayanan publik,” katanya.
Pernyataan Sandri Rumanama ini menambah panjang daftar kritik terhadap Mahkamah Konstitusi yang dalam beberapa tahun terakhir dinilai sering mengeluarkan keputusan kontroversial. Sejumlah pakar hukum menyebut bahwa MK perlu memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses putusannya agar tidak menimbulkan kecurigaan publik terkait adanya muatan politik di balik setiap perkara.
Dengan munculnya kritik dari kalangan aktivis, akademisi, dan pengamat, perdebatan soal batas peran Polri dalam jabatan sipil kini menjadi isu strategis yang akan menentukan arah reformasi kelembagaan di Indonesia. Peran MK sebagai penjaga konstitusi diharapkan kembali berpijak pada semangat reformasi dan kepentingan nasional yang lebih luas, bukan pada tekanan politik jangka pendek. (fntv)

Posting Komentar untuk "Sandri Rumanama: Putusan MK Soal Larangan Polisi Aktif di Jabatan Sipil Dinilai Inkonstitusional dan Kontraproduktif"