FITRA Kritik Gerakan Donasi Rp1.000 Sehari Gubernur Jawa Barat: Dikhawatirkan Jadi Pungutan Terselubung
Bandung, Framing NewsTV - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan baru Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menginisiasi gerakan donasi warga sebesar Rp1.000 per hari. Program yang diberi nama Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu atau Poe Ibu ini diklaim bertujuan membangkitkan semangat gotong royong dan kemandirian masyarakat Jawa Barat. Namun, di sisi lain, FITRA menilai kebijakan tersebut justru berpotensi menjadi pungutan terselubung dan menimbulkan persoalan etika dalam tata kelola pemerintahan daerah.
FITRA Nilai Ada Potensi Pungutan Terselubung
Peneliti FITRA, Betta Anugrah Setiani, menyampaikan bahwa meskipun gerakan donasi tersebut dikatakan bersifat sukarela, mekanisme pelaksanaannya berpotensi menimbulkan tekanan sosial maupun administratif di tingkat masyarakat dan aparatur pemerintahan. Dalam pandangannya, kebijakan ini bisa berubah menjadi bentuk pungutan yang tidak lagi murni sukarela ketika dituangkan melalui surat edaran resmi.
“Sebenarnya, semangat awalnya baik karena ingin mengajak masyarakat berpartisipasi melalui gotong royong. Namun, prinsip gotong royong itu justru berpotensi hilang saat diinstitusionalisasi melalui surat edaran,” ujar Betta dalam keterangan tertulis yang diterima media, Rabu, 8 Oktober 2025.
Menurut Betta, surat edaran (SE) biasanya memiliki kekuatan administratif yang bersifat mengikat bagi lembaga di bawah pemerintah daerah. Walaupun tidak mengandung sanksi hukum secara langsung, keberadaan SE tersebut bisa menciptakan tekanan moral atau kewajiban tidak tertulis bagi instansi, sekolah, hingga masyarakat untuk ikut menyumbang.
“Dalam konteks itu, masyarakat maupun instansi swasta memang tidak terikat secara hukum. Tetapi dalam praktiknya, sering kali instansi pemerintah merasa memiliki target pelaksanaan, sehingga membuka peluang terjadinya pungutan terselubung,” tegasnya.
FITRA pun menilai bahwa pendekatan seperti ini bisa menimbulkan distorsi dalam tata kelola keuangan publik, terutama jika dana hasil donasi tidak memiliki mekanisme pengawasan yang jelas.
Rekomendasi FITRA: Cabut Surat Edaran, Fokus pada Optimalisasi APBD
Betta menambahkan, seharusnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menggunakan narasi solidaritas masyarakat sebagai pengganti tanggung jawab fiskal pemerintah daerah. Menurutnya, pengumpulan dana masyarakat, meski sekecil apapun, harus dikelola dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik yang ketat.
“Pemprov sebaiknya mencabut kembali surat edaran tersebut dan tidak menggunakan narasi solidaritas masyarakat sebagai substitusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),” kata Betta.
Ia menilai, apabila program ini dijalankan tanpa landasan hukum yang kuat dan tanpa sistem audit independen, maka risiko penyalahgunaan dana akan sangat besar. Terlebih, dalam konteks daerah, sistem pengawasan masyarakat terhadap dana publik masih sangat terbatas.
Menurut FITRA, pemerintah daerah seharusnya fokus memperkuat efektivitas penggunaan APBD untuk program-program sosial yang langsung menyentuh masyarakat kecil, bukan malah mengalihkan beban solidaritas kepada warga.
Dedi Mulyadi Jelaskan Tujuan Gerakan Poe Ibu
Menanggapi kritik tersebut, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memberikan klarifikasi bahwa gerakan donasi Rp1.000 per hari itu murni bersifat sukarela, tanpa paksaan dan tanpa unsur kewajiban administratif. Ia menyebut program Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu ini didasari oleh semangat budaya gotong royong masyarakat Sunda yang telah hidup sejak lama.
Dedi menjelaskan, gerakan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 147/PMD.03.04/KESRA yang ia tandatangani pada 1 Oktober 2025. Surat tersebut ditujukan kepada para bupati dan wali kota se-Jawa Barat, kepala perangkat daerah, serta Kantor Wilayah Kementerian Agama di Jawa Barat.
“Prinsip dasarnya adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Ini bukan pungutan, tapi gerakan moral untuk menumbuhkan kembali budaya rereongan (gotong royong) di tengah kehidupan modern,” ujar Dedi saat kunjungan kerjanya di Depok, Rabu, 8 Oktober 2025.
Ia menambahkan, gerakan ini bukan hal baru bagi masyarakat Jawa Barat. Tradisi serupa sudah ada sejak lama dalam berbagai bentuk lokal, seperti beas perelek, beas jimpitan, hingga gerakan sehari seribu (gasibu) yang dikenal luas di berbagai daerah.
“Begitu saya sampaikan soal ini, banyak masyarakat yang mengaku sudah lama menjalankan hal serupa. Di Tasik sudah ada, di Garut sudah ada, di Subang juga ada. Artinya, ini bukan kebijakan baru, melainkan bentuk modernisasi dari tradisi lama yang kita miliki,” kata Dedi.
Digitalisasi dan Transparansi Dana Donasi
Dalam kesempatan yang sama, Dedi juga menegaskan bahwa gerakan ini justru bertujuan memperkuat transparansi pengelolaan dana masyarakat. Menurutnya, selama ini banyak kegiatan sosial di sekolah atau lingkungan masyarakat yang tidak memiliki laporan keuangan yang jelas.
“Selama ini di sekolah-sekolah ada iuran kelas, ada kas kelas, tapi tidak pernah dijelaskan ke publik berapa uangnya, digunakan untuk apa, dan siapa yang bertanggung jawab. Dengan gerakan ini, kita akan buat sistem digitalisasi agar setiap rupiah bisa dilacak,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa melalui digitalisasi, semua pihak dapat melihat pergerakan dana secara terbuka, mulai dari jumlah donasi yang terkumpul, alokasi penggunaannya, hingga siapa penerima manfaatnya.
“Kita ingin semua masyarakat bisa mengakses informasi itu. Jadi, tidak ada uang yang tidak jelas asal-usul dan penggunaannya,” ujar Dedi menegaskan.
Pengamat: Perlu Pengawasan Ketat agar Tidak Salah Arah
Beberapa pengamat kebijakan publik turut menyoroti gerakan ini. Mereka menilai, ide dasar gotong royong memang patut diapresiasi, namun implementasinya harus diawasi secara ketat agar tidak disalahgunakan.
Beberapa pengamat kebijakan publik turut menyoroti gerakan ini. Mereka menilai, ide dasar gotong royong memang patut diapresiasi, namun implementasinya harus diawasi secara ketat agar tidak disalahgunakan.
Pakar kebijakan publik Universitas Padjadjaran, Rini Andayani, mengatakan bahwa dalam konteks pemerintahan, setiap program yang melibatkan partisipasi finansial masyarakat harus memiliki payung hukum dan sistem akuntabilitas yang memadai.
“Kalau hanya mengandalkan semangat gotong royong tanpa kerangka regulasi dan audit, ini bisa menimbulkan risiko. Sekecil apa pun, uang publik adalah tanggung jawab negara,” ujar Rini.
Ia menambahkan, pemerintah daerah harus memastikan bahwa dana hasil donasi benar-benar dikelola secara profesional dan tidak menjadi celah bagi oknum tertentu.
“Kalau memang tujuannya untuk membantu masyarakat kurang mampu, harus jelas siapa penerimanya, bagaimana mekanisme penyalurannya, dan bagaimana laporan pertanggungjawabannya,” ujarnya.
Publik Terbelah: Antara Dukungan dan Kekhawatiran
Reaksi masyarakat terhadap kebijakan ini pun beragam. Sebagian warga mengapresiasi niat baik Gubernur Dedi yang ingin menumbuhkan kembali budaya gotong royong. Mereka menilai, donasi Rp1.000 per hari bukan beban besar dan justru bisa membantu sesama jika dikelola dengan baik.
Reaksi masyarakat terhadap kebijakan ini pun beragam. Sebagian warga mengapresiasi niat baik Gubernur Dedi yang ingin menumbuhkan kembali budaya gotong royong. Mereka menilai, donasi Rp1.000 per hari bukan beban besar dan justru bisa membantu sesama jika dikelola dengan baik.
Namun, sebagian lainnya menyuarakan kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut bisa berubah menjadi kewajiban terselubung, terutama bagi aparatur sipil negara, pelajar, dan pegawai di instansi pemerintah.
“Kalau benar-benar sukarela sih bagus, tapi jangan sampai nanti kepala sekolah atau lurah merasa harus ikut menyetor karena ada tekanan dari atas,” kata Siti, seorang guru di Bandung.
Di sisi lain, beberapa tokoh masyarakat menyarankan agar Pemprov Jabar membuka forum publik atau musyawarah warga untuk merumuskan mekanisme terbaik dari gerakan donasi tersebut agar tidak menimbulkan kecurigaan.
FITRA Minta Pemerintah Lebih Fokus pada Reformasi Fiskal
Menutup pernyataannya, FITRA menekankan bahwa tantangan utama pemerintah daerah saat ini bukanlah kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, melainkan lemahnya tata kelola fiskal dan efisiensi penggunaan anggaran.
Menutup pernyataannya, FITRA menekankan bahwa tantangan utama pemerintah daerah saat ini bukanlah kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, melainkan lemahnya tata kelola fiskal dan efisiensi penggunaan anggaran.
Menurut Betta, berbagai potensi penghematan masih bisa dilakukan oleh Pemprov Jabar untuk menambah kapasitas fiskal tanpa harus meminta kontribusi langsung dari warga.
“Kalau kita lihat dari laporan keuangan daerah, masih banyak pos anggaran yang bisa dioptimalkan. Jadi, jangan sampai kebijakan populis seperti ini justru mengaburkan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya,” tegas Betta.
Ia juga mengingatkan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan audit publik terhadap setiap dana yang dikumpulkan atas nama kepentingan sosial. (fntv)
Posting Komentar untuk "FITRA Kritik Gerakan Donasi Rp1.000 Sehari Gubernur Jawa Barat: Dikhawatirkan Jadi Pungutan Terselubung"