Gencatan Senjata Tanpa Syarat! Thailand-Kamboja Akhiri Baku Tembak Berdarah
Framing NewsTV – Setelah lima hari penuh ketegangan yang nyaris berubah menjadi perang besar, konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja akhirnya mencapai titik terang. Kedua negara memutuskan untuk mengakhiri permusuhan dan menandatangani kesepakatan gencatan senjata pada Senin (28/7).
Perjalanan menuju perdamaian ini tidak mudah. Kedua negara sebelumnya saling melancarkan serangan, saling tuding, bahkan menarik kekuatan asing seperti Amerika Serikat dan China ke dalam pusaran konflik.
Hubungan dua negara bertetangga itu mulai memanas sejak Kamis (24/7), ketika baku tembak pecah antara pasukan militer mereka. Ketegangan meletus hebat setelah pasukan Kamboja meluncurkan serangan roket ke arah Thailand, yang dibalas oleh jet tempur F-16 milik militer Thailand.
Dampak dari konflik ini sangat mengerikan: setidaknya 8 tentara dan 14 warga sipil dari Thailand dilaporkan tewas, sementara di pihak Kamboja, korban mencapai 5 tentara dan 8 warga sipil. Kekerasan ini tak hanya menyisakan duka, tetapi juga menyulut ketakutan warga sipil yang tinggal di sepanjang perbatasan.
Pertanyaannya, bagaimana jalan damai bisa ditempuh di tengah situasi yang nyaris memanas menjadi perang terbuka? Dan mengapa kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China turut duduk di meja perundingan?
Framing NewsTV merangkum sejumlah fakta penting dari balik perundingan damai ini.
Masih Panas Jelang Gencatan Senjata
Mengutip kantor berita AFP, Senin (28/7), situasi di lapangan masih sangat memanas bahkan beberapa jam menjelang perundingan. Kedua negara masih saling menyalahkan soal siapa yang memulai konflik. Padahal, para pemimpin politik dari kedua pihak telah sepakat untuk bertemu dan menyelesaikan permasalahan secara diplomatis.
Mengutip kantor berita AFP, Senin (28/7), situasi di lapangan masih sangat memanas bahkan beberapa jam menjelang perundingan. Kedua negara masih saling menyalahkan soal siapa yang memulai konflik. Padahal, para pemimpin politik dari kedua pihak telah sepakat untuk bertemu dan menyelesaikan permasalahan secara diplomatis.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, Maly Socheata, bahkan mengeluarkan pernyataan keras yang menyebut bahwa Thailand sudah lima hari berturut-turut “menginvasi wilayah Kamboja dengan senjata berat”. Ia menyebut Thailand telah mengerahkan banyak pasukan dalam upaya merebut wilayah yang diklaim milik Kamboja.
Pertempuran terjadi di tujuh titik panas sepanjang garis perbatasan yang sebagian besar berupa punggung bukit, hutan liar, dan lahan pertanian. Kawasan itu adalah tempat masyarakat setempat menanam karet dan padi—dan juga berdekatan dengan kuil kuno yang selama ini menjadi sumber sengketa kedua negara.
Pihak militer Thailand sendiri tak tinggal diam. Mereka menuduh pasukan Kamboja telah menempatkan penembak jitu di kawasan kuil dan memborbardir desa-desa Thailand dengan roket.
“Situasi masih sangat tegang. Kami menduga Kamboja sedang mempersiapkan operasi militer besar sebelum perundingan,” tulis pernyataan resmi militer Thailand.
Raja Thailand Tunda Ulang Tahun karena Konflik
Di sisi lain, konflik ini juga berdampak pada agenda kenegaraan. Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn, membatalkan seluruh perayaan ulang tahunnya yang seharusnya digelar di Aula Singgasana Amarin Winitchai, Istana Agung, pada Senin (28/7) dan Selasa (29/7).
Di sisi lain, konflik ini juga berdampak pada agenda kenegaraan. Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn, membatalkan seluruh perayaan ulang tahunnya yang seharusnya digelar di Aula Singgasana Amarin Winitchai, Istana Agung, pada Senin (28/7) dan Selasa (29/7).
Mengutip laporan dari Bangkok Post, pembatalan ini diputuskan karena seluruh aparat negara fokus menjaga kedaulatan nasional di tengah ketegangan dengan Kamboja. Meski perayaan dibatalkan, Raja Maha Vajiralongkorn tetap menunjukkan kepeduliannya kepada rakyat dan militer yang berjibaku di medan konflik.
Ia memberikan bantuan logistik dan bantuan makanan kepada para pengungsi yang tinggal di tempat penampungan dekat perbatasan. Meski upacara kenegaraan dibatalkan, penandatanganan buku ucapan selamat di Paviliun Sahathai Samakhon tetap berlangsung sesuai rencana.
PM Thailand: Kami Tak Percaya Kamboja
Negosiasi damai dijadwalkan digelar di Putrajaya, Malaysia, pada hari yang sama (Senin, 28/7). Namun sebelum meja perundingan dibuka, tensi antara dua negara malah meningkat.
Negosiasi damai dijadwalkan digelar di Putrajaya, Malaysia, pada hari yang sama (Senin, 28/7). Namun sebelum meja perundingan dibuka, tensi antara dua negara malah meningkat.
Di lapangan, kontak senjata masih terjadi, dan jumlah korban terus bertambah. Sedikitnya 35 orang dari kedua negara tewas, sementara lebih dari 200.000 orang terpaksa mengungsi dari daerah perbatasan.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, melontarkan pernyataan keras sebelum terbang ke Malaysia untuk bertemu langsung dengan Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet.
“Kami tidak percaya Kamboja bertindak dengan itikad baik, melihat bagaimana mereka menangani konflik ini,” katanya kepada wartawan.
Ia menambahkan, “Mereka perlu menunjukkan niat yang tulus, dan kami akan menilai hal itu selama pertemuan nanti.”
Bertahan di Zona Perang: "Lebih Baik Mati di Rumah"
Kisah lain datang dari warga perbatasan yang memilih bertahan di tengah desingan peluru dan dentuman roket. AFP melaporkan bahwa Samuan Niratpai (53), seorang petani dari Desa Baan Bu An Nong, Provinsi Surin, tetap tinggal di rumahnya meski istrinya dan tiga anaknya telah mengungsi ke Bangkok.
Kisah lain datang dari warga perbatasan yang memilih bertahan di tengah desingan peluru dan dentuman roket. AFP melaporkan bahwa Samuan Niratpai (53), seorang petani dari Desa Baan Bu An Nong, Provinsi Surin, tetap tinggal di rumahnya meski istrinya dan tiga anaknya telah mengungsi ke Bangkok.
Setiap pagi, ia mendengar ledakan-ledakan keras. Tapi, demi menjaga 14 kerbaunya, ayam, dan anjing peliharaannya, Samuan enggan meninggalkan rumahnya.
"Kerbau-kerbau ini adalah hidup saya. Saya tidak bisa meninggalkan mereka,” ujarnya sambil menahan haru.
Banyak warga lain yang juga memilih bertahan. Peneliti perbatasan Pranee Ra-ngabpai menyebut bahwa warga laki-laki di desa-desa zona merah memiliki pola pikir tradisional: "Kalau saya mati, lebih baik mati di rumah."
Kepala desa Keng Pitonam (55) juga masih bertahan, menjaga ternak dan rumah-rumah warga yang ditinggalkan.
“Kalau saya sebagai pemimpin pergi, siapa yang akan menjaga komunitas ini?” katanya tegas.
Kenapa China dan AS Ikut Campur?
Ketika negosiasi akhirnya terjadi di Putrajaya, Malaysia, perhatian dunia tertuju pada siapa saja yang hadir. PM Hun Manet dan Plt PM Thailand Phumtham hadir langsung. Malaysia sebagai tuan rumah diwakili PM Anwar Ibrahim, yang juga Ketua ASEAN 2025.
Ketika negosiasi akhirnya terjadi di Putrajaya, Malaysia, perhatian dunia tertuju pada siapa saja yang hadir. PM Hun Manet dan Plt PM Thailand Phumtham hadir langsung. Malaysia sebagai tuan rumah diwakili PM Anwar Ibrahim, yang juga Ketua ASEAN 2025.
Namun, perhatian tertuju pada kehadiran dua kekuatan besar dunia: Amerika Serikat dan China. Kedua negara diwakili oleh duta besar masing-masing untuk Malaysia: Edgard Kagan (AS) dan Ouyang Youjing (China).
AS disebut sebagai salah satu penyelenggara perundingan, sementara China berperan sebagai pengamat.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menegaskan bahwa negaranya akan ikut membantu menciptakan perdamaian di Asia Tenggara. Presiden Donald Trump bahkan mengatakan bahwa dirinya telah berbicara langsung dengan kedua pemimpin dan mendesak mereka untuk berdamai.
“Saya telah bicara kepada dua PM, dan saya yakin mereka ingin berdamai,” ujar Trump setelah pertemuan di Skotlandia.
Sementara itu, China menyatakan dukungannya terhadap proses damai. Guo Jiakun, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan bahwa negaranya berharap kedua negara menghentikan konflik dan menghargai semangat bertetangga yang baik.
Gencatan Senjata Tanpa Syarat: Akhir dari Badai
Puncaknya, malam hari itu juga, tercapai kesepakatan yang membawa angin damai.
Puncaknya, malam hari itu juga, tercapai kesepakatan yang membawa angin damai.
“Baik Kamboja maupun Thailand mencapai kesepahaman bersama sebagai berikut: Pertama, gencatan senjata segera dan tanpa syarat yang berlaku mulai 24 jam waktu setempat, tengah malam pada tanggal 28 Juli 2025, malam ini,” ujar PM Anwar Ibrahim seperti dikutip dari Reuters.
Dengan tercapainya gencatan senjata ini, Thailand dan Kamboja kini membuka lembaran baru—dan warga perbatasan yang selama ini hidup dalam ketakutan, akhirnya bisa mulai pulang dan menata kembali hidup mereka dari puing-puing konflik. (***)