Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Revisi UU Pemilu 2029: Polemik Ambang Batas Parlemen dan Presidential Threshold dalam Sorotan Demokrasi

Jakarta, Framing NewsTV - Menjelang Pemilu 2029, revisi Undang-Undang Pemilu kembali memunculkan perdebatan soal ambang batas parlemen dan presidential threshold. Sebagian pihak menilai sistem ini penting menjaga stabilitas pemerintahan, namun banyak kalangan menilai justru membatasi hak politik rakyat. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan memerintahkan agar aturan ambang batas direvisi sebelum Pemilu 2029, membuka ruang dialog baru untuk menciptakan sistem politik yang lebih adil, inklusif, dan representatif.

Ambang Batas dan Tujuan Awalnya

Konsep ambang batas (threshold) pertama kali diperkenalkan untuk mencegah fragmentasi politik dan memastikan parlemen diisi oleh partai-partai yang memiliki dukungan signifikan dari rakyat. Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) menentukan seberapa besar suara minimal yang harus diperoleh partai agar bisa mendapatkan kursi di DPR. Sementara itu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) mensyaratkan partai atau gabungan partai memiliki persentase suara atau kursi tertentu untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Tujuan awalnya sederhana: menciptakan sistem politik yang stabil dan pemerintahan yang efektif. Dengan jumlah partai yang lebih sedikit di parlemen, proses pengambilan keputusan, pembentukan koalisi, serta perumusan kebijakan diharapkan berjalan lebih efisien. Namun dalam praktiknya, mekanisme ini kemudian menimbulkan berbagai pro dan kontra yang tak pernah reda sejak diterapkan pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Dampak Positif: Menjaga Stabilitas dan Efektivitas Pemerintahan

Dari sisi positif, penerapan ambang batas memberikan sumbangan penting bagi kestabilan sistem presidensial Indonesia. Dengan adanya penyaringan partai politik, parlemen tidak lagi terlalu terfragmentasi, dan dinamika politik menjadi lebih terkendali. Pemerintahan pun lebih mudah membangun koalisi solid karena hanya partai dengan basis dukungan kuat yang bisa ikut menentukan arah kebijakan nasional.

Selain itu, presidential threshold membantu mencegah munculnya terlalu banyak calon presiden dengan dukungan kecil, yang berpotensi memecah suara rakyat secara ekstrem. Mekanisme ini dianggap memastikan bahwa kandidat presiden yang maju benar-benar memiliki legitimasi politik dan dukungan yang luas dari masyarakat maupun partai politik besar.

Banyak pakar menilai, dalam konteks politik Indonesia yang cenderung multipartai, ambang batas memang dibutuhkan untuk menciptakan keseimbangan antara stabilitas pemerintahan dan efektivitas dalam pelaksanaan program-program nasional.

Dampak Negatif: Terbatasnya Representasi Politik dan Pilihan Rakyat

Meski demikian, sisi gelap dari penerapan threshold juga kian nyata. Banyak kalangan menilai bahwa ambang batas justru menghambat keragaman politik dan mempersempit ruang demokrasi. Partai-partai kecil, terutama yang membawa isu-isu spesifik seperti lingkungan, pendidikan, atau representasi daerah tertentu, kerap tersingkir karena tidak mampu menembus ambang batas nasional.

Akibatnya, jutaan suara rakyat yang memilih partai-partai kecil menjadi tidak terwakili di parlemen. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, pada Pemilu 2019 saja, sekitar 13 juta suara sah rakyat “terbuang” karena partai yang mereka pilih tidak mencapai ambang batas 4 persen. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang seberapa adil sistem representasi politik yang ada.

Dalam konteks presidential threshold, syarat dukungan partai besar juga mengakibatkan keterbatasan jumlah calon presiden yang bisa tampil dalam pemilihan. Padahal, semakin banyak pilihan calon, semakin tinggi pula kualitas kompetisi demokratis yang bisa muncul. Dengan pembatasan ini, rakyat cenderung hanya disodorkan dua pasangan calon, seperti terjadi dalam beberapa pemilu terakhir, sehingga ruang partisipasi politik masyarakat menjadi lebih sempit.

Putusan Mahkamah Konstitusi dan Arah Revisi UU Pemilu 2029

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Februari 2024 mengeluarkan putusan penting yang menyatakan bahwa ambang batas parlemen sebesar 4 persen perlu ditinjau ulang sebelum Pemilu 2029. MK menilai bahwa sistem ini berpotensi tidak sejalan dengan prinsip proporsionalitas suara dalam sistem pemilu Indonesia. Putusan tersebut menjadi sinyal kuat bahwa revisi UU Pemilu tidak bisa dihindari.

Sejumlah kalangan politikus, akademisi, dan pengamat kemudian mendorong agar revisi UU Pemilu kali ini benar-benar mempertimbangkan keseimbangan antara stabilitas pemerintahan dan keterwakilan politik. Ada yang mengusulkan agar ambang batas parlemen diturunkan menjadi 2 atau 3 persen, agar suara rakyat yang selama ini tidak terkonversi menjadi kursi dapat lebih terwakili.

Sementara itu, isu penghapusan presidential threshold juga semakin ramai dibicarakan. Penghapusan syarat dukungan minimal dianggap bisa membuka peluang lebih luas bagi calon-calon alternatif untuk tampil, sekaligus memperkuat hak konstitusional warga negara dalam memilih pemimpin. Namun di sisi lain, beberapa pakar memperingatkan bahwa jika threshold dihapus total, sistem bisa kembali ke era politik yang sangat terfragmentasi dan sulit membangun pemerintahan yang efektif.

Mencari Titik Keseimbangan Demokrasi yang Ideal

Revisi UU Pemilu 2029 kini menjadi momentum penting untuk memperbaiki desain demokrasi Indonesia. Pemerintah dan DPR diharapkan tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis perolehan suara, tetapi juga dampaknya terhadap kualitas demokrasi jangka panjang.

Pendekatan yang bisa ditempuh adalah menerapkan ambang batas bertahap — misalnya dengan perhitungan berbasis daerah atau daerah pemilihan (dapil) tertentu, bukan hanya angka nasional. Dengan begitu, daerah-daerah dengan karakter sosial dan budaya berbeda tetap bisa memiliki wakil di parlemen tanpa kehilangan suara secara masif.

Selain itu, pelibatan masyarakat sipil, lembaga riset, dan akademisi dalam proses revisi juga penting agar regulasi yang dihasilkan benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan partai besar. Keterbukaan proses legislasi dan partisipasi publik akan menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan undang-undang pemilu yang adil dan transparan.

Demokrasi yang Stabil, Adil, dan Inklusif

Pada akhirnya, ambang batas parlemen dan presidential threshold bukan sekadar angka atau pasal dalam undang-undang, melainkan refleksi dari arah demokrasi bangsa. Di satu sisi, stabilitas pemerintahan memang mutlak diperlukan agar pembangunan berjalan konsisten. Namun di sisi lain, demokrasi juga harus memberi ruang bagi suara minoritas dan partai kecil agar tidak tersisih.

Revisi UU Pemilu 2029 akan menjadi ujian besar bagi Indonesia dalam mencari keseimbangan itu. Apakah sistem politik akan terus didominasi oleh partai-partai besar, atau justru membuka jalan bagi politik yang lebih partisipatif dan representatif? Jawabannya akan bergantung pada seberapa serius pembuat kebijakan menempatkan kepentingan rakyat di atas kalkulasi politik jangka pendek.

Jika revisi dilakukan dengan semangat keterbukaan, partisipasi, dan keadilan, maka Pemilu 2029 bisa menjadi tonggak baru bagi demokrasi Indonesia yang lebih matang, inklusif, dan stabil di masa depan. (***)

Posting Komentar untuk "Revisi UU Pemilu 2029: Polemik Ambang Batas Parlemen dan Presidential Threshold dalam Sorotan Demokrasi"