Tim Forensik Kesulitan Identifikasi Jenazah Korban Ponpes Sidoarjo
Framing NewsTV - Proses evakuasi korban bangunan ambruk di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, terus dilakukan oleh tim SAR gabungan. Hingga Jumat, 3 Oktober 2025, tercatat sebanyak delapan jenazah berhasil dievakuasi dari lokasi kejadian dan langsung dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara H.S. Samsoeri Mertojoso, Surabaya, untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut.
Kabid DVI Pusdokkes Polri, AKBP dr. Wahyu Hidajati SpFM Mars, menjelaskan bahwa proses identifikasi jenazah menghadapi sejumlah kendala. Menurutnya, kondisi beberapa tubuh korban sudah dalam keadaan membusuk sehingga menyulitkan tim dalam mendapatkan data primer, terutama dari sidik jari.
Sidik Jari Rusak, Identifikasi Alami Kendala
Wahyu menuturkan, ketika lima jenazah pertama tiba di RS Bhayangkara Surabaya, tim forensik segera melakukan prosedur identifikasi sesuai standar. Namun, mereka mendapati bahwa sebagian sidik jari korban telah mengalami kerusakan akibat proses pembusukan.
Wahyu menuturkan, ketika lima jenazah pertama tiba di RS Bhayangkara Surabaya, tim forensik segera melakukan prosedur identifikasi sesuai standar. Namun, mereka mendapati bahwa sebagian sidik jari korban telah mengalami kerusakan akibat proses pembusukan.
"Sidik jari sudah mulai rusak karena proses pembusukan. Jadi cukup sulit bagi kami untuk mengidentifikasi dengan metode ini," ungkapnya kepada wartawan.
Kendala ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar korban masih anak-anak. Dengan usia rata-rata sekitar 12 hingga 15 tahun, para korban belum memiliki KTP, sehingga rekam sidik jari yang biasanya tersimpan dalam database kependudukan juga tidak tersedia.
Pemeriksaan Gigi Belum Menemukan Ciri Khas
Selain sidik jari, metode identifikasi melalui gigi juga ditempuh oleh tim forensik. Biasanya, pemeriksaan ini dilakukan dengan mencocokkan data gigi korban (postmortem) dengan rekam medis gigi yang dimiliki semasa hidup (antemortem). Namun, proses ini pun belum membuahkan hasil maksimal.
Selain sidik jari, metode identifikasi melalui gigi juga ditempuh oleh tim forensik. Biasanya, pemeriksaan ini dilakukan dengan mencocokkan data gigi korban (postmortem) dengan rekam medis gigi yang dimiliki semasa hidup (antemortem). Namun, proses ini pun belum membuahkan hasil maksimal.
Menurut Wahyu, gigi pada usia remaja cenderung memiliki pola pertumbuhan yang hampir sama, sehingga sulit menemukan ciri-ciri khas yang membedakan satu individu dengan lainnya. "Dari gigi, rata-rata umur 12 sampai 15 tahun pertumbuhannya hampir sama. Ciri-ciri khusus sampai saat ini belum didapatkan, misalnya ada gigi yang copot atau tanda lain yang bisa jadi pembanding," jelasnya.
Ketiadaan laporan detail dari keluarga mengenai kondisi gigi anak-anak mereka juga membuat proses pembandingan menjadi semakin sulit dilakukan.
Pakaian dan Tanda Lahir Belum Bisa Jadi Acuan
Selain sidik jari dan gigi, identifikasi juga berusaha dilakukan melalui pakaian serta tanda lahir. Namun, metode ini pun masih menemui hambatan. Pakaian para korban disebut mirip satu sama lain karena merupakan seragam pondok pesantren, sehingga tidak bisa dijadikan pembeda yang signifikan.
Selain sidik jari dan gigi, identifikasi juga berusaha dilakukan melalui pakaian serta tanda lahir. Namun, metode ini pun masih menemui hambatan. Pakaian para korban disebut mirip satu sama lain karena merupakan seragam pondok pesantren, sehingga tidak bisa dijadikan pembeda yang signifikan.
Sementara itu, tanda lahir seperti tahi lalat juga belum bisa menjadi acuan yang pasti. Beberapa keluarga memang mengingat keberadaan tanda lahir pada anak mereka, namun tidak mengetahui posisi tepatnya di tubuh. Bahkan ketika ada informasi, hasil perbandingan di lapangan belum memberikan kecocokan yang jelas.
Tim Forensik Terus Bekerja Maksimal
Meskipun menghadapi berbagai kesulitan, Wahyu menegaskan bahwa tim DVI Polri akan terus bekerja semaksimal mungkin untuk mengidentifikasi seluruh korban. Identifikasi jenazah merupakan langkah penting agar keluarga dapat menerima kepastian sekaligus memberikan penghormatan terakhir secara layak kepada para korban.
Meskipun menghadapi berbagai kesulitan, Wahyu menegaskan bahwa tim DVI Polri akan terus bekerja semaksimal mungkin untuk mengidentifikasi seluruh korban. Identifikasi jenazah merupakan langkah penting agar keluarga dapat menerima kepastian sekaligus memberikan penghormatan terakhir secara layak kepada para korban.
“Kami masih berusaha keras, meskipun banyak kendala di lapangan. Namun kami tetap mengedepankan metode ilmiah dan teliti agar hasilnya akurat,” pungkasnya.
Tragedi ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat luas. Proses identifikasi yang penuh tantangan ini diharapkan segera menemukan titik terang, sehingga para korban bisa dimakamkan dengan layak sesuai identitas masing-masing. (*)
Posting Komentar untuk "Tim Forensik Kesulitan Identifikasi Jenazah Korban Ponpes Sidoarjo"