Menteri Merasa Tertipu di Pilrek UHO? 35% Suara Tak Cukup Menangkan Prof. Takdir
Framing NewsTV - Pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) periode 2025–2029 yang digelar pada Senin, 16 Juni 2025, di lantai 4 Gedung Rektorat, menjadi sorotan tajam publik akademik. Alih-alih menjadi pesta demokrasi kampus yang elegan, proses pemilihan justru diwarnai drama politik tingkat tinggi yang berujung pada “tumbangnya” jagoan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Kemenangan justru diraih oleh calon yang didukung kuat oleh pendukung mantan Rektor Prof. Muhammad Zamrun.
Dalam pemungutan suara yang dilakukan secara tertutup oleh 49 anggota senat dan perwakilan kementerian, hasil akhir mencatatkan nama Prof. Armid sebagai pemenang dengan 31 suara. Di posisi kedua, Prof. Takdir Saili memperoleh 30 suara, sementara Prof. Ruslin meraih 13 suara. Total suara yang masuk berjumlah 74, terdiri dari 49 suara senat (65%) dan 26 suara kementerian (35%).
Kejutan Politik Kampus: Suara Menteri ke Calon Minim Dukungan
Yang menjadi pusat kontroversi bukan sekadar siapa yang menang, melainkan bagaimana suara kementerian dikelola. Dalam pemilihan awal pada 8 Mei 2025—yang hanya melibatkan suara senat—peta kekuatan sudah jelas. Prof. Armid unggul dengan 32 suara, disusul Prof. Ruslin (11 suara) dan Prof. Takdir tertinggal jauh hanya dengan 4 suara.
Namun, semua berubah di putaran akhir saat Wakil Menteri Ristekdikti, Prof. Fauzan, datang membawa “kekuatan istimewa” berupa 26 suara dari kementerian. Secara mengejutkan, seluruh suara tersebut diberikan secara penuh kepada Prof. Takdir, calon yang hanya mendapat dukungan 4 suara senat.
Hasilnya, suara Prof. Takdir langsung melonjak drastis menjadi 30 suara, cukup untuk menyaingi Prof. Armid yang kehilangan satu suara karena satu anggota senat sedang menunaikan ibadah haji. Meski begitu, suara Prof. Armid masih bertahan di angka 31, cukup untuk keluar sebagai pemenang pemilihan rektor.
Drama Pilrek UHO: Ketika Strategi Politik Berbalik Jadi Bumerang
Pemilihan Rektor UHO, terselip drama politik yang begitu kental. Salah satu isu paling menggelitik yang mencuat ke publik adalah dugaan bahwa Menteri Ristekdikti merasa tertipu dan dipermalukan usai jagoan yang didukungnya, Prof. Takdir Saili, gagal memenangkan suara mayoritas.
Dengan 35% suara menteri atau setara 26 suara yang dijatuhkan penuh kepada Prof. Takdir, kemenangan tampaknya sudah di depan mata. Namun realitas berkata lain: total suara Prof. Takdir hanya menyentuh angka 30 suara, masih kalah tipis dari Prof. Armid yang memperoleh 31 suara. Kegagalan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar: apakah ada permainan politik yang tidak terbaca oleh pusat?
Misi Prof. Takdir Membangun Koalisi Senyap: Gagal Total?
Berdasarkan informasi yang beredar di kalangan internal kampus, Prof. Takdir disebut telah melakukan pendekatan politik terhadap sejumlah anggota senat yang sebelumnya berada di bawah pengaruh Kubu Prof. Armid jagoan Prof. Zamrun. Upaya ini dilakukan dalam bentuk komunikasi intensif, pertemuan terbatas, bahkan janji-janji untuk memperkuat posisi mereka di struktur kampus jika dirinya terpilih sebagai rektor.
Dalam percakapan tertutup, beberapa anggota senat disebut menerima sinyal kuat dari Prof. Takdir bahwa ia akan mendapatkan dukungan penuh dari kementerian. Dengan demikian, suara mereka akan ikut mengalir demi membentuk koalisi pemenangan. Keyakinan ini sempat menggoyahkan soliditas dukungan kepada Prof. Armid. Namun, seperti bola liar, rencana itu gagal total pada saat hari pemungutan suara.
Ketika hasil akhir diumumkan, terlihat jelas bahwa anggota senat yang digadang-gadang akan “membelot” tetap memilih Prof. Armid, membiarkan Prof. Takdir berdiri sendiri dengan 4 Suara bersama 35% suara kementerian.
35 Persen Tak Cukup: Kegeraman Menteri Jadi Isu Hangat?
Kekalahan ini pun dikabarkan membuat suasana internal kementerian memanas. Menteri Ristekdikti, Prof. Brian Yuliarto, Ph.D., diduga merasa dipermalukan karena manuver politiknya tidak berhasil. Padahal, suara kementerian sebesar 35% umumnya dianggap sebagai senjata pamungkas dalam menentukan hasil akhir Pilrek di banyak kampus negeri.
Namun di UHO, senario tersebut justru berbalik menjadi blunder besar. Tidak hanya gagal mengantar kandidatnya menjadi rektor, langkah ini juga dinilai memperlihatkan kelemahan dalam membaca peta politik kampus, serta kegagalan dalam mengukur loyalitas anggota senat yang diduga sempat ‘digoda’.
Menurut sumber internal yang dekat dengan lingkaran kementerian, ada rasa kecewa yang sangat besar dari Menteri terhadap situasi ini. "Pak Menteri merasa sudah menyusun strategi, tapi hasilnya jauh dari ekspektasi. Ada kekecewaan yang dalam terhadap mereka yang menjanjikan suara, tapi akhirnya tidak menepati,” ujar sumber yang enggan disebut namanya.
Kecurigaan dan Kesan ‘Ditipu’: Benarkah Menteri Jadi Korban?
Situasi ini menimbulkan dugaan bahwa menteri merasa tertipu oleh janji politik sejumlah anggota senat yang diduga memberikan harapan palsu. Mereka disebut meyakinkan bahwa suara senat akan berbalik mendukung Prof. Takdir, sehingga suara menteri akan menjadi penentu kemenangan.
Namun dalam kenyataannya, skenario tersebut tidak terjadi. Alih-alih menang, Prof. Takdir hanya mampu mengumpulkan 30 suara, dan Prof. Armid tetap unggul dengan 31 suara, meskipun satu pendukungnya absen karena menunaikan ibadah haji. Hal inilah yang memicu dugaan bahwa menteri merasa dipermainkan dalam kontestasi Pilrek UHO.
"Bayangkan, suara senat sudah fix 4 untuk Prof. Takdir, dan 26 dari menteri masuk semua. Tapi suara akhir tetap kalah. Ini menunjukkan bahwa janji dukungan yang dijanjikan oleh sejumlah anggota senat kepada pihak kementerian tidak pernah benar-benar ada," ujar seorang dosen senior UHO yang ikut memantau dinamika tersebut.
Kampus Jadi Arena Politik Kekuasaan?
Kisah ini menyoroti fenomena kian politisnya pemilihan rektor di kampus-kampus negeri, termasuk UHO. Bukan hanya persoalan kompetensi akademik, melainkan soal strategi politik, koalisi diam-diam, bahkan dugaan transaksi kekuasaan.
Banyak pihak menilai bahwa kegagalan menteri dalam memenangkan jagoannya merupakan pukulan telak terhadap legitimasi pusat dalam menentukan arah kepemimpinan kampus. Apalagi jika benar terjadi manuver ‘janji politik’ dari pihak senat yang kemudian berubah haluan saat pemungutan suara.
Prof. Armid Menang, Pendukung Zamrun Rayakan Kemenangan
Bagi para pendukung Prof. Armid Jagoan Prof. Zamrun, kemenangan ini adalah momen klimaks. Bukan hanya karena berhasil mempertahankan dominasi jaringan Zamrun di UHO, tetapi juga karena mampu menghadapi tekanan dari pusat dan berhasil menjalankan skenario awalnya akan mengalahkan suara Menteri. Suara sorak dan tepuk tangan langsung terdengar sesaat setelah hasil diumumkan.
Sebaliknya, bagi pihak kementerian, ini adalah kekalahan pahit. Strategi “all in” mereka—memberikan seluruh suara menteri ke satu calon yang tidak populer di kalangan senat—malah menjadi blunder besar. Menteri Ristekdikti Prof. Brian Yuliarto, Ph.D. pun jadi bulan-bulanan kritik karena dinilai gagal membaca peta politik kampus.
Kritik Pedas: Di Mana Logika Menteri?
Seorang dosen senior UHO yang enggan namanya dipublikasikan, melontarkan kritik keras terhadap langkah kementerian. Menurutnya, keputusan memberikan 35% suara ke calon yang hanya memiliki 4 suara senat bukan hanya aneh, tapi juga tidak masuk akal secara logika akademik maupun politik kampus.
“Idealnya, sebelum menteri memberikan suara, ia harus mempertimbangkan kekuatan dasar calon. Kalau suara di senatnya minim, ya menteri seharusnya tidak menaruh semua kartu di situ. Ini kesannya sembrono, atau lebih buruk lagi, bisa memunculkan dugaan permainan politik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa jika keputusan ini tidak berdasarkan penilaian objektif dan transparan, maka sangat mungkin muncul spekulasi tentang intervensi eksternal, bahkan dugaan transaksional.
“Kalau sampai ada transaksi jabatan di balik ini, itu bukan hanya mempermalukan kampus, tapi juga merusak integritas sistem pendidikan tinggi kita,” tambahnya.
Isu Demokrasi Kampus dan Warisan Zamrun
Tak bisa diabaikan pula bahwa kemenangan Prof. Armid memperpanjang dominasi kelompok Prof. Zamrun, yang sebelumnya dua periode menjabat Rektor UHO. Bagi sebagian pihak, ini dianggap sebagai kelanjutan “dinasti akademik” yang rawan membuat kampus stagnan. Namun, bagi pendukungnya, ini justru disebut sebagai kemenangan terhadap intervensi dan bentuk keberhasilan membangun jaringan loyalitas kuat.
Tak bisa diabaikan pula bahwa kemenangan Prof. Armid memperpanjang dominasi kelompok Prof. Zamrun, yang sebelumnya dua periode menjabat Rektor UHO. Bagi sebagian pihak, ini dianggap sebagai kelanjutan “dinasti akademik” yang rawan membuat kampus stagnan. Namun, bagi pendukungnya, ini justru disebut sebagai kemenangan terhadap intervensi dan bentuk keberhasilan membangun jaringan loyalitas kuat.
Namun, perlu dicatat bahwa beberapa pihak mempertanyakan keabsahan proses demokrasi di UHO. Ada tudingan bahwa pemilihan anggota senat sebelumnya—yang mendukung kuat Prof. Armid—sudah dikondisikan sedemikian rupa oleh pihak rektorat. Jika tuduhan ini benar, maka sesungguhnya akar persoalan tidak hanya terletak pada menteri, tetapi juga dalam sistem senat itu sendiri.
Satu Suara Bisa Mengubah Segalanya
Kemenangan Prof. Armid dengan selisih satu suara bukan hanya tentang siapa yang menjadi rektor, tetapi juga tentang siapa yang memegang arah masa depan kampus. Kementerian telah menunjukkan ke mana arah dukungannya, namun pilihan akhir tetap ada di tangan kampus—meskipun jalannya juga patut dipertanyakan.
Kini, setelah drama usai, saatnya UHO menatap masa depan dengan kepala tegak. Namun, jika akar persoalan tak segera diperbaiki, maka bukan mustahil drama ini hanya akan menjadi episode pembuka dari babak baru tarik-menarik kekuasaan dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia. (fntv)